KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya. Serta salawat dan salam tidak lupa juga kami panjatkan kepada
junjungan nabi kita Muhammad SAW beserta segenap pengikutnya.
Dengan
mengucapkan syukur alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul : “Sejarah Timbulnya Teologi dalam Islam”
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Pembahasan ini merupakan himpunan referensi
dari berberapa buku dan internet.
Dalam penulisan makalah ini penulis
sungguh sangat banyak mendapatkan wawasan yang luar biasa dalam ilmu
pengetahuan tentang islam, khususnya mengenai judul yang penulis buat mengenai Sejarah Timbulnya Teologi dalam Islam.
Karena
keterbatasan kemampuan dan waktu dari penulis, sudah barang tentu hasil makalah ini masih terdapat
kekurangan di sana sini. Untuk itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan makalah
ini. Dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Akhirnya
kepada semua pihak yang telah membantu terselesainya makalah ini, saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Jakarta, Oktober 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………...…………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………..…………...ii
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
1.
Awal terjadinya masalah teologi.……………..……….......3
a. Awalnya
karena persoalan politik, lalu berlanjut
pada
masalah akidah dan takdir.....................................3
b. Munculnya
perselisihan..................................................4
2.
Sejarah latar belakang munculnya persoalan kalam/teologi
dalam islam..........................................................................5
a. Khawarij.........................................................................6
b. Murji’ah..........................................................................7
c. Mu’tazilah.......................................................................8
d. Paham Qodariah dan
Jabariah.........................................8
e.
Aliran Asy’ariyah, Al Maturidiyah, dan At Tahawi.......9
BAB III : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang mempunyai sejarah
pergulatan teologi yang panjang. Dengan rentang sejarah yang panjang itu,
teologi Islam pernah menancapkan sebuah fakta untuk turut serta meramaikan
pergulatan intelektual dalam pentas peradaban ilmu pengetahuan dan politik
dunia. Berbagai konsep dan sudut pandang teologis muncul secara dialektis dalam
atmosfir kebudayaan Islam.
Secara konsvensional Islam memang mempunyai bangunan
ketuhanan yang sifatnya monoteis. Sebuah agama yang mempunyai keyakinan tentang
Tuhan yang satu. Namun, dalam realitas empiriknya, Tuhan yang satu tersebut
melahirkan beragam pandangan dan konsep teologis yang berbeda-beda. Artinya
meskipun Tuhan sebagai obyek keyakinan umat Islam sama yakni Allah, namun
ketika Allah yang satu itu direspon dan dipahami oleh banyak indifidu umat
Islam sejagad, maka justru melahirkan beragam konsep ketuhanan.
Perbedaan pandangan teologis itu berangkat dari
beragamnya logika forma atau paradigama, sudut pandang dan perspektif yang
digunakan oleh umat Islam sendiri dalam menangkap dan menafsirkan Tuhan. Satu
pihak umjat Islam ada yang menggunakan perpsketif logis, yakni usaha memahami
Tuhan melalui rasio. Ada yang lebih mendasarkan pemahamannya melalui intuitif.
Di sisi lain ada yang cukup puas dengan informasi teks dan seterusnya.
Selain dari itu, di samping banyaknya pendekatan yang
digunakan oleh umat Islam dalam memahami Tuhan, hal yang turut serta
menyeruakkan bermacam-macamnya konsep teolog Islam adalah berkaitan dengan
wajah Tuhan itu sendiri. Syaikh Akbar Ibnu ‘Arabi membagi Tuhan pada dua wajah:
Dzat dan Sifat. Wajah Tuhan yang terdiri dari dzat dan sifat ini menyebabkan
munculnya perbedaan pandangan di kalangan para mutakallim. Ada yang menyatakan
bahwa Tuhan mempunyai sufat dan ada juga yang tidak myakini bahwa tuhan
mempunyai sifat.
Beraneka ragamnya konsep teologi tersebut, akhirnya
juga membawa beraneka ragamnya pola hidup dan pola pikir umat Islam. Bagi umat
Islam yang masuk pada kubu Jabariyyah akhirnya lebih cenderung fatalistik. Hal
ini karena pakem teologi Jabariyyah adalah menyerahkan segala sesuatunya pada
Tuhan. Sementara bagi umat Islam yang menjadi penganut Qodariyyah menjadikan
umat Islam pada kelompok ini mempunyai sikap hidup yang optimis. Karena konsep
teologi mereka menyatakan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia
merupakan tanggung jawab manusia. Oleh karena itu, termasuk nilai baik dan
buruk adalah berasal dari manusia dan bukan dari Tuhan. Pola hidup dan pola
pikir lainnya juga ditunjukkan oleh kelompok lainnya yang mempunyai konsep teologi
berbeda.
Dinamika dan dialektika sejarah teologi umat Islam di
atas hingga kini masih terus menemukan geliatnya, bahkan dalam kontek Indonesia
justru mengalami penguatan. Munculnya gerakan-gerakan puritanisme Islam yang
mengusung tema-tema radikalisme Islam, menuntut menarik Islam ke era awal
adalah representasi dari menguatnya penanaman teologi wahabi dan salafiyah.
Lahirnya konsep teologi ini sebagiannya ditopang oleh lahirnya gerakan
pembaharuan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam yang masuk kategori
neokonservatisme.
BAB II
PEMBAHASAN
1. AWAL TERJADINYA MASALAH TEOLOGI DALAM ISLAM
a.
Awalnya karena
persoalan politik, lalu berlanjut pada masalah akidah dan takdir.
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Tetapi,
pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan dari
kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga
kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa
meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama Madinah)
pada tahun 622 M.
Ketika
masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah ke
Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala
pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam pertama,
yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.
Ketika
Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota itu
saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu,
sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang
bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas
berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad
SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.
Sepeninggal
Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti beliau untuk
mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai bermunculan berbagai
pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang
disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam
mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab.
Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.[1]
b.
Munculnya perselisihan
Awal
kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami
suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa
pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat
Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan
Usman.
Di
masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali
terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya.
Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan
umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu
Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu
Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung
antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.
Faktor
penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum para
pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan
menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh
Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan
diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan
dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah juga
mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu
Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi di masa pemerintahan
Khalifah Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Perselisihan
yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran
keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah,
Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah.
Aliran-aliran
ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu
mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek
sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang
muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan
keimanan.
''Kelompok
khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali tidak
melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran
Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,'' kata guru
besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.
Sementara
itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan
atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan
dalam bidang teologi.
Selain
persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda
mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya. [2]
2.
SEJARAH
LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERSOALAN KALAM/ TEOLOGI DALAM ISLAM
Menurut Harun Nasution, kemunculan
persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang mengangkut peristiwa
pembunuhan Utsman bin Affan yang berujung pada penolakan Mu’awiyah terhadap
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan ini mengakibatkan timbulnya perang
siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase).
Kemudian hal ini
mengakibatkan perpecahan di pasukan Ali sehingga pasukan Ali terbagi menjadi
dua. Yang tetap mendukung keputusan Ali disebut golongan Syi’ah sedangkan yang
tidak setuju dan keluar dari pasukan Ali disebut golongan Khawarij.
Harun
lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir. Persoalan ini telah
menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu:
a.
Khawarij
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berasal dari kata kharaja yang
berarti keluar maksudnya adalah bahwa kalangan mereka adalah orang-orang yang
keluar dari barisan Ali ra. Pada saat peristiwa arbitrase dengan muawiyah ra, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka
berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia.
Dengan semboyan mereka yang terkenal La hukma illa lillah (Tiada
hukum kecuali hukum Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak
ada pembuat hukum kecuali Allah).
Berdasarkan alasan inilah mereka menolak
keputusan Ali bin Abi Thalib. Menurut pendapat aliran ini yang berhak memutus
perkara hanya Allah, bukan melalui arbitrase (tahkim)[3]. Dari sinilah kalangan Khawarij memasuki persoalan kufr
: siapakah yang kafir atau yang keluar dari Islam dan siapa yang disebut mukmin
atau masih tetap dalam Islam. Kalangan khawarij pun pada perkembangannya
terpecah menjadi banyak golongan.
Subsekte khawarij yang
sangat ekstrim yaitu Azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan
daripada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang
tidak mau bergabung dalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa besar
dalam pandangan mereka disebut kafir millah (agama), dan itu artinya dia sudah
keluar dari islam. Si kafir semacam ini kekal di neraka bersama orang kafir
lainnya.
Subsekte Najdah tak
jauh berbeda dari Azariqah. Jika Azariqah memberi predikat kepada umat islam
yang tidak masuk dalam kelompok mereka, Najdah pun memberi predikat yang
sama terhadap orang yang melakukan dosa kecil secara berkesinambungan. Akan
halnya dengan dosa besar yang dilakukan tidak terus menerus, pelakunya
dipandang kafir dan jika dilakukan secara kontinu dipandang musyrik.
Iman dalam pandangan
khawarij tidak hanya percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah
kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun
yang menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan
kewajiban agama malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh
khawarij.
Subsekte Khawarij yang sangat moderat
(Ibadiyah) memilikki pandangan yang berbeda bahwa setiap pelaku dosa besar
tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin atau
disebut kafir nikmat dan bukan nikmat millah (agama). Siksaannya di neraka
selamanya bersama orang kafir lainnya.
b.
Murji’ah
Aliran murji’ah adalah aliran yang memberikan reaksi
terhadap pendapat aliran khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa
besar adalah aliran murji’ah. Menurut kaum murjiah dosa besar tidak
mengakibatkan kekafiran. Apabila seorang mukmin melakukan dosa besar tetap
mukmin. Adapun hakikatnya, kita serahkan kepada Allah kelak di akhirat.
Subsekte Murji’ah
ekstrim (Murji’ah Bid’ah) berpendapat bahwa keimanan terletak dalam kalbu. Adapun
ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari
kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan
keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Kredo kelompok Murji’ah
ekstrim yang terkenal adalah “Perbuatan tidak dapat menggugurkan keimanan,
sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa kekufuran.” Dapat disimpulkan
bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa besar akan disiksa di neraka.
Sementara Murji’ah
moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun
disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada dosa yang
dilakukannya. Kendati pun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksa neraka.
Pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa
besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat
lainnya. Ia berpendapat bahwa seorang pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi
bukan berarti bahwa dosa yang diperbuatnya tidak berimplikasi. Andaikata masuk
neraka, karena Allah menghendakinya, ia tak akan kekal didalamnya. Disamping
itu, iman menurut Abu Hanifah adalah iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula
bahwa iman tidak berkurang dan tidak bertambah. Agaknya ini merupakan sikap
umum yang ditunjukkan oleh Murji’ah baik ekstrim maupun moderat.
c.
Mu’tazilah
Secara harfiyah kata
mu’tazilah berasal dari kata I’tazila yang berarti berpisah atau memisahkan
diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Ajaran dasar Mu’tazilah
yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah :
Bagi mereka, orang yang
berbuat dosa besar bukan kafir tapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi
antara mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya dikenal dengan istilah
al-manzilah bain manzilatain.
Setiap
pelaku dosa besar, menurut mu’tazilah berada diposisi tengah diantara posisi
mukmin dan posisi kafir, jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat
bertobat, ia akan dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian,
siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir. Dalam
perkembangannya, beberapa tokoh mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha dan Amir Amr
bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau
kafir.[4]
Lalu timbul pula dalam islam dua aliran
teologi yang terkenal yaitu al-Qadariah dan al-Jabariah.
d.
Paham Qadariyah dan Jabariyah
Qadariyah berasal
dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.
Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya,
dalam istilah inggrisnya free will
dan free act. Aliran ini berpendapat
tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian
tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang
memberi penekanan atas kebebasan dan kekuasaan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai Qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan. Mereka
berdalil dengan ayat – ayat al-Qur'an :
“buatlah
apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu perbuat” (TQS
Fussilat : 40)
Jabariayah
berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Didalam Al-munjid, dijelaskan
bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa
paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang
sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris,
Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan
bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Mereka berdali dengan ayat al-Qur'an :
“Mereka
sebenarnya tidak akan percaya, sekranya Allah tidak menghendaki” (TQS Al-An'am
: 112)
Asy-Syahratsani,
Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah
pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauan sendiri, tapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan
yang menghendaki demikian.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim,
jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan, baik
perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia punya bagian dalamnya.
Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab
(acquisition). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa Tuhan),
tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi
pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
e. Aliran
Asy’ariyah, Al Maturidiyah, dan At Tahawi
Perlawanan tehadap Mu’tazilah datang dari pengikut aliran tradisional
islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mahzab ibnu hambali.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang
didirikan oleh Abu Al-Hasan al asy’ari (935 M) yang dikenal dengan teologi
asy’ariyah. Al-asy’ari berpendapat bahwa terhadap pelaku dosa
besar, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl al-qiblah),
walaupun melakukan dosa besar seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka
masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki,
selalipun berbuat dosa besar, akan tetapi, jika dosa besar itu tetap
dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak
meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan diakhirat kelak
tergantung kehendak Allah.[5] Dalam bidang fikih,
Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar
pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.[6]
Di samarkand aliran yang menentang mu’tazilah didirikan oleh abu mansyur
muhammad almaturidi (w. 944 M) yang dikenal dengan aliran al Maturidiyah. Tentang Perbuatan
Manusia, menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh
manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan
Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu
semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
Selain dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, muncul
pula penentang mu’tazilah yaitu at tahawi (933 M) pengikut iman hanafi. Tetapi
ajaran-ajaran at Tahawi tidak menjadi aliran teologi dalam islam. Maka aliran
aliran teologi dalam islam adalah khawarij, syia’ah, Murji’ah, Mukthazilah, asy’ariyah
dan Mathuridiyyah. Aliran aliran yang masih ada sampai sekarang adalah Asy’ariyah
dan Mathuridiyyah yang keduanya disebut Ahlussunnah Waljama’ah atau Sunni dan
Syi’ah.
Mathuridiyyah
banyak dianut pengikut Madzhab Hanafi, sedangkan aliran asy’ariyah dianut
Sunni. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia islam, maka banyak
kalangan intlektual muslim yang menggunakan ajaran-ajaran mu’tazilah, sehingga
disebut neo mu’tazilah.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil suatu intisari bahwa
aliran khawarij muncul karena persoalan politik antara Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah bin Abi Sufyan, dikatakan khawarij karena keluar dari barisan Ali bin
Abi Thalib sebagai protes terhadap Ali yang menyetujui perdamaian dengan
Muawiyah bin Abi Sufyan. Dalam perkembangan selanjutnya khawarij lebih banyak
bercorak theologis, sehingga merupakan aliran kalam pertama dalam Islam yang
lahir pada abad 1 H.
Corak pemikiran aliran khawarij dalam memahami nash
al-Qur’an dan Hadis cenderung tekstual dan parsial, sehingga melahirkan
pemahaman yang kaku dan sektarian serta bersikap tendensius mudah memvonis
salah, menghukumi kafir/musyrik kepada yang tidak sependapat dengan alirannya.
Pengikut aliran khawarij didominasi oleh
suku Badwi dan suku-suku lain dari Arab Selatan yang menolak hegemoni Arab
Utara, kondisi ini menyebabkan tidak memiliki daya pijakan yang kuat
(oportunis), fanatisme yang berlebihan, wawasan keilmuan yang tidak memadai dan
cenderung statis, sehingga memudahkan terpecah dan membentuk kelompok
sektarian.
Mengenai jumlah sekte dari aliran khawarij
terdapat perbedaan pendapat diantara para theolog, yang terkenal ada 6 sekte
yaitu al-muhakkimah, al-ajariqah, al-najdat, al-ajaridah, al-sufriyah dan
al-ibadiyah.
Aliran-aliran
teologi dalam islam adalah khawarij, Murji’ah, Mukthazilah, asy’ariyah, Mathuridiyyah
dan syi’ah.
Umat Islam akan mudah terpecah dan membentuk kelompok
sektarian manakala tidak memiliki landasan aqidah yang kokoh dan wawasan
keilmuan yang mumpuni.
[1] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran, sejarah, analisis
perbandingan, (UI Press, 2006) hal. 3-5
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh
Siyasah : Ajaran, Sejarah, Analisa dan Pemikiran, (Raja Grafindo Persada, 1995) h.196
[4] Dr Abdul Rozak M.Ag dan Dr Rosihon Anwar M.Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Cetakan IV,
Bandung, 2009, h. 137
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syahristani, Al-Milal
wa al-Nihal, Cairo : t.p., 1968.
A. Syalabi, Sejarah
Kebudayaan Islam 2, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988.
Dr
Abdul Rozak M.Ag dan Dr Rosihon Anwar M.Ag, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, Cetakan IV, 2009.
Nasution, Harun,
Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta : UI
Press, 1986.
Pulungan, J. Suyuthi,
Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, Analisa dan Pemikiran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar