HASAN HANAFI DAN MOH. ARKOUN
A.
Latar Belakang
Disamping sebagai pemikir Islam, Hasan Hanafi adalah seorang Filosof
Hukum Islam, Seorang guru, juga guru besar pada Fakultas Filsafat Universitas
Kairo. Ia mengkonsentrasikan pemikirannya pada kajian Pemikiran Barat pra
Modern dan Modern. Hasan Hanafi termasuk pemikir Islam Kontemporer yang bobot
intelektualnya merambah dunia baru Islam pasca modernisme. Salah satu pemikiran
Hasan Hanafi adalah karyanya yang berjudul “Kiri Islam”. Sementara itu,
Mohammamad Arkoun mempunyai kegandrungan terhadap bahasa dan sastra, dan tentu
saja pemikiran Islam. Salah satu karyanya dalam bahasa Inggris yaitu : Reithingking
Islam Today.
B. Hasan
Hanafi
Hasan
Hanafi lahir pada 13 Februari 1935, di Kairo, dekat benteng Salahudin, sebuah
perkampungan di Al-Azhar. Keluarganya berasal dari Banu Swaif, Mesir Selatan,
dan kemudian pindah ke Kairo. Sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani Mur,
satu kabilah dengan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasr. (Abad Badruzzaman,
2005;41)
Ketika
berusia lima tahun, Hanafi mulai menghafal al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh
Sayyid. Jenjang pendidikan dasarnya dilaluinya di Madrasah Suleyman Ghawish.
Setelah itu, diteruskan di sekolah Guru Al-Mu’allimin. Pada tanggal 11 Oktober
1956, Hanafi meraih gelar sarjana dari Kuliyat Al-Adab (fakultas Adab)
Universitas Kairo. Setelah ia pergi ke Sorbonne, Prancis untuk belajar
Filsafat. Disini, ia sempat mendalami seni musik. Tahun 1966, ia berhasil
meraih gelar doktor di Universitas yang sama, dengan disertasi berjudul Essai
Sur la Methode d’exegese (Essai Tentang Penafsiran). Pada tahun 1971, karya
setebal 900 halaman ini meraih penghargaan sebagai karya tulis terbaik di
Mesir.
Tahun 1971-1975, Hanafi pergi ke Amerika serikat untuk mengajar di Universitas
Temple. Disini, ia berkesempatan menulis karangan tentang agama Yahudi, Kristen
dan Islam dalam rangka membangun dialog antar agama. Tahun 1975, Hanafi kembali
ke Mesir. Periode 1976-1981 ikut aktif dalam gerakan anti Pemerintahan Presiden
Anwar Sadat yang dinilainya sangat pro dengan Barat dan mau berdamai dengan
Israel, musuh bebuyutan Islam dan Arab. Aktifitasnya ini menyebabkan ia dipecat
dari Universitas Kairo dengan tuduhan menentang penguasa.
Jiwa pejuang memang telah nampak sejak Hanafi belia. Tahun 1946,
ketika usianya belum menginjak sebelas tahun, Hanafi sudah terlibat dalam
demonstrasi bersama buruh dan mahasiswa. Tahun 1952, setelah gagal menjadi
anggota organisasi Pemuda Islam (Jam’iyyah Syubban Al-Muslimin) untuk
bergabung dengan prajurit sukarelawan yang membela Palestina melawan Zionis[1]
Israel karena usianya yang masih sangat muda, Hanafi resmi menjadi anggota Ikhwan
al-Muslimin (Moslem Brother). Selama menjadi mahasiswa di Universitas
Kairo, Hanafi terus terlibat pemerintahan Mesir melarang keberadaan organisai
ini.
Selain sebagai seorang aktivis gerakan Islam, Hasan Hanafi adalah
seorang filosof hukum Islam, seorang pemikir Islam dan juga seorang pelukis
ulung. Beberapa tokoh dunia sempat menjadi obyek lukisannya, seperti Beethoven,
Muhammad Abduh, Raja Farouk dan sebagainya. Hanafi banyak menyerap pengetahuan
Barat dan mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pramodern dan
modern. Hasan Hanafi termasuk pemikir Islam kontemporer yang bobot intelektualnya
merambah dunia baru Islam pasca
modernisme.
Sebagai pemikir dan filosof Islam, Hasan Hanafi menanamkan model
baru dalam usaha memahami khazanah Islam klasik. Pemikirannya tergolong
multi-lintas, dan ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu juga dan aspek
pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggapnya terpinggirkan, sungguh luar
biasa. Hasan Hanafi tergolong pemikir yang anti kemapanan. Ia selalu berada
digaris minoritas kalau tidak tergolong melawan arus. Ketika semua orang
menyokong kemapanan, ia berbalik membela kegelisahan. Corak pemikiran demikian,
dianggap wacana baru, kontemporer, walawpun Hasan Hanafi sendiri menggagasnya
sudah cukup lama, dengan karyanya yang berjudul “Kiri Islam”.
Pembicaraan itulah yang kelak menjadi perbincangan banyak kalangan.
Meskipun banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang mengkritik atau paling
tidak menggugah keabsahan istilah Hasan Hanafi yang menggunakan “kiri Islam”
sebagai suatu identifikasi kesahihan Islam. Bagi kalangan yang mengkritik ide
Hanafi, berprinsip bahwa Islam tidak mengenal kiri atau kanan, Islam tetaplah
satu, dengan tuhan yang satu juga. Namun bagi Hanafi, hal itu hanya ada dalam
tataran ideologis. Sedangkan secara realitas historis, umat Islam dihadapkan
pada suatu pergaulan dan perbenturan berbagai kepentingan dan kekuatan, dan
umat Islam hampir saja selalu berada di pihak yang terpinggirkan (kiri). Akan
tetapi, sejumlah kalangan menganggap Hasan Hanafi memiliki gagasan orasional,
butiran-butiran besar dan berwawasan radikalistik[3].
2)
Latar Belakang Kiri Islam
Semula, “kiri Islam” adalah nama sebuah jurnal berkala yang
diterbitkan Hanafi pada tahun 1981, nama lengkap jurnalnya adalah Al-Yasar
Al-Islami ; Kitabat fi al-Islamiyah (Kiri Islam ; Essai tentang kebangkitan
Islam). Dalam jurnalnya ini, Hanafi menjelaskan bahwa dalam rangka mewujudkan
kebangkitan Islam, revolusi Islam (tauhid), dan kesatuan umat, diperlukan tiga
pilar sebagai penopang Kiri Islam, Pilar pertama, adalah revitalisasi dan
rasionalisasi khazanah islam klasik (al-Turots). Pilar kedua, adalah
perlunya menantang peradaban Barat. Hanafi memperingatkan bahaya imperialisme
kultural Barat dan mengusulkan oksidentalisme sebagai tandingan terhadap
orientalisme guna mengakhiri mitos peradaban Barat. Sedangkan pilar ketiga adalah
analisa terhadap realitas dunia Islam. Menurut Hanafi, dua hal yang menjadi
ancaman dunia Islam kini adalah, dari luar Islam sendiri, yaitu Imperialisme, Zionisme
dan Kapitalisme. Sedangkan ancaman dari dalam Islam adalah kemiskinan,
ketertindasan, dan kerterbelakangan. Dan inilah yang menjadi fokus perhatian
dari Kiri Islam, yang pada akhirnya kemudian menjadi trade mark pemikiran Hasan
Hanafi.
Bagi Hanafi, “kiri” memiliki konotasi ilmiah. Penggunaan istilah “kiri”
oleh Hanafi lebih mencerminkan sebuah realita dalam masyarakat muslim yang
terbelah menjadi dua bagian, yaitu antara penguasa dan rakyat, si kaya dan si
miskin, yang memiliki dua kepentingan yang sangat berseberangan. Bagi Hanafi,
kelompok kiri Islam adalah representasi[4]
dari kaum tertindas, dikuasai, miskin, dan termarjinalkan.
Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaharuan masyarakat
kita dalam beberapa generasi hanya menghasilkan keberhasilan yang relatif,
bahkan untuk sebagiannya gagal terutama dalam mengentaskan masalah
keterbelakangan. Hal ini disebabkan karena pertama, berbagai tendensi[5]
keagamaan yang terkooptasi[6]
kekuasaan menjadi Islam hanya sekedari ritus dan kepercayaan ukhrawi. Kedua,
Liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi yang terakhir,
hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara. Sementara mayoritas
rakyat ditempatkan di luar lapangan permainan yang hanya ada dalam kerja-kerja revolusi. Ketiga,
Marxisme yang mewujudkan keadilan sosial dan menentang Kolonialisme, ternyata
tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka untuk
mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan Nasional. Keempat, Nasionalisme
Revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem
politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung kontradiksi
dan mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Kiri Islam lahir dalam rangka
merealisasikan tujuan-tujuan pergerakanan Nasional dan prinsip-prinsip Revolusi
Sosialis.
Kiri Islam juga mendapat inspirasi dan keberhasilan Revolusi Islam
akbar di Iran yang mengejutkan dunia. Dimana rakyat muslim tegak kokoh melawan
tekanan militer dan menumbangkan Rezim Syah atas nama “Islam” dan “Kekuatan” Allah Maha Besar, penumpas kaum otoriter, revolusi
ini dapat disejajarkan dengan dua revolusi besar lain yaitu revolusi Prancis
dan Bolsjevik, serta menjadi satu model bagi Revolusi dan keyakinan pada akhir
abad XIV. Kiri Islam juga merupakan Resultan dan gerakan-gerakan kaum muslimin
di Afganistan, Melayu, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam
sebagai khazanah Nasional, yaitu memelihara otentitas dan kreativitas kaum
muslimin yang juga memperjuangkan rakyat muslim di setiap tempat.
C. Muhammad Arkoun[7]
Mohammad Arkoun lahir pada 1 februari 1928 di Taourirt-Mimoun,
Kabilia, sebelah Timur, Aljir, suatu daerah yang terletak di pegunungan
Berbeer. Setelah merampungkan sekolah menengah atas di Oran, Kabilia, Arkoun
belajar di Universitas Aljir untuk mendalami bahasa dan sastra Arab (195-1954).
Namun saat terjadi perang Aljazair melawan Perancis, Arkoun melanjutkan
studinya di Paris dan menekuni bahasa dan sastra Arab. Tahun 1956-1959, Arkoun
menjadi guru sekolah menengah atas di Strasbourg. Tahun 1969, ia memperoleh
gelar doktor dengan disetasinya berjudul “Humanisme dalam Pemikiran Ibnu
Miskawaih”. Jenjang pendidikan yang dilalui Arkoun ini selanjutnya semakin
memperaerat pergaulannya dengan tiga bahasa: Kabilia, Arab, dan Perancis.[8]
Ketajaman pemikirannya dan pemahamannya terhadap berbagai problema
umat Islam, serta penguasaannya terhadap pengetahuan dan peradaban Barat yang
semakin terasah ketika tinggal di Perancis, menjadikan ia dipercaya untuk
mengajar di berbagai Universitas di sejumlah negara. Ia sempat menjadi dosen
dan guru besar Ilmu Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Lyon, Aljazair pada
tahun 1969-1972, juga Universitas Negeri Belanda di Amsterdam pada tahun 1993.
1. Karya Muhammad Arkoun
Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis. Ia memang
tak banyak menulis dalam bahasa Inggris. Dalam bentuk buku, satu-satunya karya
Arkoun dalam bahasa Inggris adalah Rethinking Islam Today, 1987, buku
kecil yang semula merupakan bahan ceramahnya di Center for Contemporary Arab
studies, Universitas Georgetown, Amerika Serikat,. Dalam bahasa Indonesia,
satu-satunya buku Arkoun adalah Nalar Islam dan Nalar Modern;
Tantangan dan Jalan Baru yang memuat beberapa artikelnya. Karyanya yang
lain antara lain adalah Lectures de Coran (Telaah tentang Al-Qur’an), la
Pensee Arabe (Dunia Pemikiran Arab), dan masih banyak lagi.
Karya-karyanya ini mencerminkan betapa besar perhatian Arkoun
terhadap persoalan dalam Islam, yang secara garis besar bisa dikategorikan atas
tiga hal, yaitu masalah permikiran Islam, sosial kemasyarakatan, dan pemahaman
tentang kitab suci, pengertian etika, dan kaitan antara Islam dan modernitas.
2.
Ide dan Pemikiran Muhammad
Arkoun
Arkoun mempunyai keunikan tersendiri
dalam menggagas pemikirannya. Kebanyakan pemikirannya selain terilhami oleh
gagasan-gagasan Barat kontemporer juga upayanya untuk menghidupkan pemikiran
Islam dalam model dan corak baru. Namun begitu, ia tetap bersikap kritis
terhadap para orientalis. Menurut Arkoun, kaum orientalis sering kali bertolak
dari prasangka yang salah terhadap Islam. Oleh karena itu, Arkoun hendak menggantikan
Islamologi Barat yang klasik dengan Islamologi terapan. Idenya ini ia tuangkan
dalam bukunya, Pour Une Islamologie Applique (Untuk Islamologi Terapan).
Tujuannya adalah untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan dan membebaskan
pemikiran Islam dari bebragai tatanan usang dan mitologi yang menyesatkan.
(Ensiklopedia Islam j.1,35)
Arkoun
juga sangat concern terhadap masalah-masalah ekonomi, sosial, dan politik. Menurutnya,
ada kesulitan besar bagi umat Islam untuk mengawinkan sikap yang berorientasi
ke masa lalu, yang mendambakan ideologi Islam yang otentik, dengan sebuah
peradaban modern.
Arkoun
menganjurkan untuk melakukan usaha pembebasan atas pemikiran Islam dan
kejumudan dan ketertutupan dengan pendekatan kajian histories dan kritis dengan
perangkat pemikiran ilmu pengetahuan Barat mutakhir. Ia menggabungkan dalam
berbagai karya antara pemikiran Islam dengan berbagai ilmu pengetahuan Barat
mutakhir guna membebaskan Islam dari kejumudan dan ketertutupan, agar umat
Islam bisa menghadapai tantangan modern.
Catatan
yang penting dalam pemikiran Arkoun adalah tentang perlunya kesadaran dan daya
kritis tinggi untuk mencermati khazanah pengetahuan Barat yang dipakai dalam
mengkaji nilai Islam. Selain itu juga, ia ingin menyatukan semua perbedaan
identitas sesama umat Islam dalam bahkan dengan non-muslim.
Dalam
beberapa tulisannya tentang modernitas, Arkoun tidak secara tegas merumuskan
batasan modernitas, apalagi tantangan yang dibawa olehnya. Meskipun demikian,
pandangan Arkoun tentang persoalan modernitas ini dapat disimak dari berbagai
tulisannya yang lain.
Ia
menggabungkan dalam berbagai karya antara pemikiran Islam dengan berbagai ilmu
pengetahuan Barat mutakhir guna membebaskan Islam dari kejumudan dan
ketertutupan agar umat Islam bisa menghadapi tantangan modernis. Landasan utama
pengetahuan modern yang menjadi pendekatan Arkoun terhadap Islam. Karena
menurutnya, sejarah masyarakat Islam sangat berkaitan dengan masyarakat Barat.
Tidak ada dikotomi antara pemikiran barat dengan pemikiran Islam. Keduanya
harus dihargai.
PENUTUP
Dari
uraian di muka dapat dikemukakan catatan penutup bahwa, di antara pemikir
muslim, Hasan Hanafi dan Arkoun adalah contoh di antara para ilmuwan muslim
yang ingin menegaskan bahwa Islam akan selalu selaras dengan perkembangan
zaman. Pengistilahan nama “kiri” di sebelah nama Islam tidak mesti
dikonotasikan sebagai gerakan sosialis Marxis, tetapi “kiri” adalah penegakan
keadilan dan kesetaraan. Dan inilah yang agaknya ingin dicapai Islam. Yaitu
penegakan keadilan sosial. Sedangkan Arkoun menegaskan bahwa Islam dan Barat, tidaklah bertentangan dan
tidak untuk dipertentangkan. Keduanya memiliki akar histories yang nyaris
serumpun, dan untuk itu diperlukan evaluasi dan upaya menciptakan kondisi yang
saling menguntungkan kedua belah pihak. Melalui gagasan dan berbagai usahanya,
Arkoun telah berusaha melakukan hal itu.
DAFTAR PUSTAKA
H.A. Fattah Wibisono, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di
Dunia Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009
Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,Jakarta:Paramadina,1998
Jhon Cooper, Pemikiran Islam,penerjemah: Wahid Nur Efendi,
Jakarta: Erlangga, 2002
Muhammad Imarah, Islam Versus Barat, Jakarta: Robbani Press,
1998
[1]
Gerakan (politik dsb) bangsa Yahudi yg ingin mendirikan negara sendiri
yg merdeka dan berdaulat di Palestina
[2]
Dr.H.A. Fattah Wibisono,MA, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia
Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009 h. 184
[3]
Paham atau aliran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik dng cara kekerasan atau drastis
[4]
perbuatan mewakili
[5]
kecenderungan
[6]
dapat dipilih
[7]
Dr.H.A. Fattah Wibisono,MA, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia
Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009 h. 187
[8]
Drs.Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,(Jakarta:Paramadina,1998)
hal.16