Selasa, 20 Desember 2011

HASAN HANAFI DAN MOH. ARKOUN


HASAN HANAFI DAN MOH. ARKOUN
A.   Latar Belakang
Disamping sebagai pemikir Islam, Hasan Hanafi adalah seorang Filosof Hukum Islam, Seorang guru, juga guru besar pada Fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia mengkonsentrasikan pemikirannya pada kajian Pemikiran Barat pra Modern dan Modern. Hasan Hanafi termasuk pemikir Islam Kontemporer yang bobot intelektualnya merambah dunia baru Islam pasca modernisme. Salah satu pemikiran Hasan Hanafi adalah karyanya yang berjudul “Kiri Islam”. Sementara itu, Mohammamad Arkoun mempunyai kegandrungan terhadap bahasa dan sastra, dan tentu saja pemikiran Islam. Salah satu karyanya dalam bahasa Inggris yaitu : Reithingking Islam Today.
B. Hasan Hanafi
Hasan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935, di Kairo, dekat benteng Salahudin, sebuah perkampungan di Al-Azhar. Keluarganya berasal dari Banu Swaif, Mesir Selatan, dan kemudian pindah ke Kairo. Sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani Mur, satu kabilah dengan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasr. (Abad Badruzzaman, 2005;41)
Ketika berusia lima tahun, Hanafi mulai menghafal al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh Sayyid. Jenjang pendidikan dasarnya dilaluinya di Madrasah Suleyman Ghawish. Setelah itu, diteruskan di sekolah Guru Al-Mu’allimin. Pada tanggal 11 Oktober 1956, Hanafi meraih gelar sarjana dari Kuliyat Al-Adab (fakultas Adab) Universitas Kairo. Setelah ia pergi ke Sorbonne, Prancis untuk belajar Filsafat. Disini, ia sempat mendalami seni musik. Tahun 1966, ia berhasil meraih gelar doktor di Universitas yang sama, dengan disertasi berjudul Essai Sur la Methode d’exegese (Essai Tentang Penafsiran). Pada tahun 1971, karya setebal 900 halaman ini meraih penghargaan sebagai karya tulis terbaik di Mesir.
Tahun 1971-1975, Hanafi pergi ke Amerika serikat untuk mengajar di Universitas Temple. Disini, ia berkesempatan menulis karangan tentang agama Yahudi, Kristen dan Islam dalam rangka membangun dialog antar agama. Tahun 1975, Hanafi kembali ke Mesir. Periode 1976-1981 ikut aktif dalam gerakan anti Pemerintahan Presiden Anwar Sadat yang dinilainya sangat pro dengan Barat dan mau berdamai dengan Israel, musuh bebuyutan Islam dan Arab. Aktifitasnya ini menyebabkan ia dipecat dari Universitas Kairo dengan tuduhan menentang penguasa.
Jiwa pejuang memang telah nampak sejak Hanafi belia. Tahun 1946, ketika usianya belum menginjak sebelas tahun, Hanafi sudah terlibat dalam demonstrasi bersama buruh dan mahasiswa. Tahun 1952, setelah gagal menjadi anggota organisasi Pemuda Islam (Jam’iyyah Syubban Al-Muslimin) untuk bergabung dengan prajurit sukarelawan yang membela Palestina melawan Zionis[1] Israel karena usianya yang masih sangat muda, Hanafi resmi menjadi anggota Ikhwan al-Muslimin (Moslem Brother). Selama menjadi mahasiswa di Universitas Kairo, Hanafi terus terlibat pemerintahan Mesir melarang keberadaan organisai ini.
Selain sebagai seorang aktivis gerakan Islam, Hasan Hanafi adalah seorang filosof hukum Islam, seorang pemikir Islam dan juga seorang pelukis ulung. Beberapa tokoh dunia sempat menjadi obyek lukisannya, seperti Beethoven, Muhammad Abduh, Raja Farouk dan sebagainya. Hanafi banyak menyerap pengetahuan Barat dan mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pramodern dan modern. Hasan Hanafi termasuk pemikir Islam kontemporer yang bobot intelektualnya merambah dunia baru  Islam pasca modernisme.

1)    Ide dan Pemikiran Hasan Hanafi[2]
Sebagai pemikir dan filosof Islam, Hasan Hanafi menanamkan model baru dalam usaha memahami khazanah Islam klasik. Pemikirannya tergolong multi-lintas, dan ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu juga dan aspek pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggapnya terpinggirkan, sungguh luar biasa. Hasan Hanafi tergolong pemikir yang anti kemapanan. Ia selalu berada digaris minoritas kalau tidak tergolong melawan arus. Ketika semua orang menyokong kemapanan, ia berbalik membela kegelisahan. Corak pemikiran demikian, dianggap wacana baru, kontemporer, walawpun Hasan Hanafi sendiri menggagasnya sudah cukup lama, dengan karyanya yang berjudul “Kiri Islam”.
Pembicaraan itulah yang kelak menjadi perbincangan banyak kalangan. Meskipun banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang mengkritik atau paling tidak menggugah keabsahan istilah Hasan Hanafi yang menggunakan “kiri Islam” sebagai suatu identifikasi kesahihan Islam. Bagi kalangan yang mengkritik ide Hanafi, berprinsip bahwa Islam tidak mengenal kiri atau kanan, Islam tetaplah satu, dengan tuhan yang satu juga. Namun bagi Hanafi, hal itu hanya ada dalam tataran ideologis. Sedangkan secara realitas historis, umat Islam dihadapkan pada suatu pergaulan dan perbenturan berbagai kepentingan dan kekuatan, dan umat Islam hampir saja selalu berada di pihak yang terpinggirkan (kiri). Akan tetapi, sejumlah kalangan menganggap Hasan Hanafi memiliki gagasan orasional, butiran-butiran besar dan berwawasan radikalistik[3].

2)    Latar Belakang Kiri Islam
Semula, “kiri Islam” adalah nama sebuah jurnal berkala yang diterbitkan Hanafi pada tahun 1981, nama lengkap jurnalnya adalah Al-Yasar Al-Islami ; Kitabat fi al-Islamiyah (Kiri Islam ; Essai tentang kebangkitan Islam). Dalam jurnalnya ini, Hanafi menjelaskan bahwa dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (tauhid), dan kesatuan umat, diperlukan tiga pilar sebagai penopang Kiri Islam, Pilar pertama, adalah revitalisasi dan rasionalisasi khazanah islam klasik (al-Turots). Pilar kedua, adalah perlunya menantang peradaban Barat. Hanafi memperingatkan bahaya imperialisme kultural Barat dan mengusulkan oksidentalisme sebagai tandingan terhadap orientalisme guna mengakhiri mitos peradaban Barat. Sedangkan pilar ketiga adalah analisa terhadap realitas dunia Islam. Menurut Hanafi, dua hal yang menjadi ancaman dunia Islam kini adalah, dari luar Islam sendiri, yaitu Imperialisme, Zionisme dan Kapitalisme. Sedangkan ancaman dari dalam Islam adalah kemiskinan, ketertindasan, dan kerterbelakangan. Dan inilah yang menjadi fokus perhatian dari Kiri Islam, yang pada akhirnya kemudian menjadi trade mark pemikiran Hasan Hanafi.

Bagi Hanafi, “kiri” memiliki konotasi ilmiah. Penggunaan istilah “kiri” oleh Hanafi lebih mencerminkan sebuah realita dalam masyarakat muslim yang terbelah menjadi dua bagian, yaitu antara penguasa dan rakyat, si kaya dan si miskin, yang memiliki dua kepentingan yang sangat berseberangan. Bagi Hanafi, kelompok kiri Islam adalah representasi[4] dari kaum tertindas, dikuasai, miskin, dan termarjinalkan.
Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaharuan masyarakat kita dalam beberapa generasi hanya menghasilkan keberhasilan yang relatif, bahkan untuk sebagiannya gagal terutama dalam mengentaskan masalah keterbelakangan. Hal ini disebabkan karena pertama, berbagai tendensi[5] keagamaan yang terkooptasi[6] kekuasaan menjadi Islam hanya sekedari ritus dan kepercayaan ukhrawi. Kedua, Liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi yang terakhir, hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara. Sementara mayoritas rakyat ditempatkan di luar lapangan permainan yang  hanya ada dalam kerja-kerja revolusi. Ketiga, Marxisme yang mewujudkan keadilan sosial dan menentang Kolonialisme, ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan Nasional. Keempat, Nasionalisme Revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung kontradiksi dan mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Kiri Islam lahir dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakanan Nasional dan prinsip-prinsip Revolusi Sosialis.
Kiri Islam juga mendapat inspirasi dan keberhasilan Revolusi Islam akbar di Iran yang mengejutkan dunia. Dimana rakyat muslim tegak kokoh melawan tekanan militer dan menumbangkan Rezim Syah atas nama “Islam” dan “Kekuatan”  Allah Maha Besar, penumpas kaum otoriter, revolusi ini dapat disejajarkan dengan dua revolusi besar lain yaitu revolusi Prancis dan Bolsjevik, serta menjadi satu model bagi Revolusi dan keyakinan pada akhir abad XIV. Kiri Islam juga merupakan Resultan dan gerakan-gerakan kaum muslimin di Afganistan, Melayu, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah Nasional, yaitu memelihara otentitas dan kreativitas kaum muslimin yang juga memperjuangkan rakyat muslim di setiap tempat.

C. Muhammad Arkoun[7]
Mohammad Arkoun lahir pada 1 februari 1928 di Taourirt-Mimoun, Kabilia, sebelah Timur, Aljir, suatu daerah yang terletak di pegunungan Berbeer. Setelah merampungkan sekolah menengah atas di Oran, Kabilia, Arkoun belajar di Universitas Aljir untuk mendalami bahasa dan sastra Arab (195-1954). Namun saat terjadi perang Aljazair melawan Perancis, Arkoun melanjutkan studinya di Paris dan menekuni bahasa dan sastra Arab. Tahun 1956-1959, Arkoun menjadi guru sekolah menengah atas di Strasbourg. Tahun 1969, ia memperoleh gelar doktor dengan disetasinya berjudul “Humanisme dalam Pemikiran Ibnu Miskawaih”. Jenjang pendidikan yang dilalui Arkoun ini selanjutnya semakin memperaerat pergaulannya dengan tiga bahasa: Kabilia, Arab, dan Perancis.[8]
Ketajaman pemikirannya dan pemahamannya terhadap berbagai problema umat Islam, serta penguasaannya terhadap pengetahuan dan peradaban Barat yang semakin terasah ketika tinggal di Perancis, menjadikan ia dipercaya untuk mengajar di berbagai Universitas di sejumlah negara. Ia sempat menjadi dosen dan guru besar Ilmu Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Lyon, Aljazair pada tahun 1969-1972, juga Universitas Negeri Belanda di Amsterdam pada tahun 1993.

1. Karya Muhammad Arkoun
Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis. Ia memang tak banyak menulis dalam bahasa Inggris. Dalam bentuk buku, satu-satunya karya Arkoun dalam bahasa Inggris adalah Rethinking Islam Today, 1987, buku kecil yang semula merupakan bahan ceramahnya di Center for Contemporary Arab studies, Universitas Georgetown, Amerika Serikat,. Dalam bahasa Indonesia, satu-satunya buku Arkoun adalah Nalar Islam dan Nalar Modern; Tantangan dan Jalan Baru yang memuat beberapa artikelnya. Karyanya yang lain antara lain adalah Lectures de Coran (Telaah tentang Al-Qur’an), la Pensee Arabe (Dunia Pemikiran Arab), dan masih banyak lagi.
Karya-karyanya ini mencerminkan betapa besar perhatian Arkoun terhadap persoalan dalam Islam, yang secara garis besar bisa dikategorikan atas tiga hal, yaitu masalah permikiran Islam, sosial kemasyarakatan, dan pemahaman tentang kitab suci, pengertian etika, dan kaitan antara Islam dan modernitas.

2.      Ide dan Pemikiran Muhammad Arkoun
Arkoun mempunyai keunikan tersendiri dalam menggagas pemikirannya. Kebanyakan pemikirannya selain terilhami oleh gagasan-gagasan Barat kontemporer juga upayanya untuk menghidupkan pemikiran Islam dalam model dan corak baru. Namun begitu, ia tetap bersikap kritis terhadap para orientalis. Menurut Arkoun, kaum orientalis sering kali bertolak dari prasangka yang salah terhadap Islam. Oleh karena itu, Arkoun hendak menggantikan Islamologi Barat yang klasik dengan Islamologi terapan. Idenya ini ia tuangkan dalam bukunya, Pour Une Islamologie Applique (Untuk Islamologi Terapan). Tujuannya adalah untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan dan membebaskan pemikiran Islam dari bebragai tatanan usang dan mitologi yang menyesatkan. (Ensiklopedia Islam j.1,35)
Arkoun juga sangat concern terhadap masalah-masalah ekonomi, sosial, dan politik. Menurutnya, ada kesulitan besar bagi umat Islam untuk mengawinkan sikap yang berorientasi ke masa lalu, yang mendambakan ideologi Islam yang otentik, dengan sebuah peradaban modern.
Arkoun menganjurkan untuk melakukan usaha pembebasan atas pemikiran Islam dan kejumudan dan ketertutupan dengan pendekatan kajian histories dan kritis dengan perangkat pemikiran ilmu pengetahuan Barat mutakhir. Ia menggabungkan dalam berbagai karya antara pemikiran Islam dengan berbagai ilmu pengetahuan Barat mutakhir guna membebaskan Islam dari kejumudan dan ketertutupan, agar umat Islam bisa menghadapai tantangan modern.
Catatan yang penting dalam pemikiran Arkoun adalah tentang perlunya kesadaran dan daya kritis tinggi untuk mencermati khazanah pengetahuan Barat yang dipakai dalam mengkaji nilai Islam. Selain itu juga, ia ingin menyatukan semua perbedaan identitas sesama umat Islam dalam bahkan dengan non-muslim.
Dalam beberapa tulisannya tentang modernitas, Arkoun tidak secara tegas merumuskan batasan modernitas, apalagi tantangan yang dibawa olehnya. Meskipun demikian, pandangan Arkoun tentang persoalan modernitas ini dapat disimak dari berbagai tulisannya yang lain.
Ia menggabungkan dalam berbagai karya antara pemikiran Islam dengan berbagai ilmu pengetahuan Barat mutakhir guna membebaskan Islam dari kejumudan dan ketertutupan agar umat Islam bisa menghadapi tantangan modernis. Landasan utama pengetahuan modern yang menjadi pendekatan Arkoun terhadap Islam. Karena menurutnya, sejarah masyarakat Islam sangat berkaitan dengan masyarakat Barat. Tidak ada dikotomi antara pemikiran barat dengan pemikiran Islam. Keduanya harus dihargai.










PENUTUP

Dari uraian di muka dapat dikemukakan catatan penutup bahwa, di antara pemikir muslim, Hasan Hanafi dan Arkoun adalah contoh di antara para ilmuwan muslim yang ingin menegaskan bahwa Islam akan selalu selaras dengan perkembangan zaman. Pengistilahan nama “kiri” di sebelah nama Islam tidak mesti dikonotasikan sebagai gerakan sosialis Marxis, tetapi “kiri” adalah penegakan keadilan dan kesetaraan. Dan inilah yang agaknya ingin dicapai Islam. Yaitu penegakan keadilan sosial. Sedangkan Arkoun menegaskan bahwa  Islam dan Barat, tidaklah bertentangan dan tidak untuk dipertentangkan. Keduanya memiliki akar histories yang nyaris serumpun, dan untuk itu diperlukan evaluasi dan upaya menciptakan kondisi yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Melalui gagasan dan berbagai usahanya, Arkoun telah berusaha melakukan hal itu.


DAFTAR PUSTAKA

H.A. Fattah Wibisono, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009
Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,Jakarta:Paramadina,1998
Jhon Cooper, Pemikiran Islam,penerjemah: Wahid Nur Efendi, Jakarta: Erlangga, 2002
Muhammad Imarah, Islam Versus Barat, Jakarta: Robbani Press, 1998



[1] Gerakan (politik dsb) bangsa Yahudi yg ingin mendirikan negara sendiri yg merdeka dan berdaulat di Palestina
[2] Dr.H.A. Fattah Wibisono,MA, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009 h. 184

[3] Paham atau aliran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dng cara kekerasan atau drastis
[4] perbuatan mewakili
[5] kecenderungan
[6] dapat dipilih
[7] Dr.H.A. Fattah Wibisono,MA, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009 h. 187

[8] Drs.Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,(Jakarta:Paramadina,1998) hal.16