Selasa, 28 Januari 2014

*Sabar itu sulit tapi indah* *seperti sabarnya kaktus yang bertahan di padang pasir yang panas* *untuk menanti sekuncup bungan yang menghibur nya* *Sabar bukan berarti lemah , dan juga bukan berarti kalah* *justru sabar adalah benteng keselamatan dari keputusasaan* *bertawakkal atas segala ujian ..*

Selasa, 20 Desember 2011

HASAN HANAFI DAN MOH. ARKOUN


HASAN HANAFI DAN MOH. ARKOUN
A.   Latar Belakang
Disamping sebagai pemikir Islam, Hasan Hanafi adalah seorang Filosof Hukum Islam, Seorang guru, juga guru besar pada Fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia mengkonsentrasikan pemikirannya pada kajian Pemikiran Barat pra Modern dan Modern. Hasan Hanafi termasuk pemikir Islam Kontemporer yang bobot intelektualnya merambah dunia baru Islam pasca modernisme. Salah satu pemikiran Hasan Hanafi adalah karyanya yang berjudul “Kiri Islam”. Sementara itu, Mohammamad Arkoun mempunyai kegandrungan terhadap bahasa dan sastra, dan tentu saja pemikiran Islam. Salah satu karyanya dalam bahasa Inggris yaitu : Reithingking Islam Today.
B. Hasan Hanafi
Hasan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935, di Kairo, dekat benteng Salahudin, sebuah perkampungan di Al-Azhar. Keluarganya berasal dari Banu Swaif, Mesir Selatan, dan kemudian pindah ke Kairo. Sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani Mur, satu kabilah dengan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasr. (Abad Badruzzaman, 2005;41)
Ketika berusia lima tahun, Hanafi mulai menghafal al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh Sayyid. Jenjang pendidikan dasarnya dilaluinya di Madrasah Suleyman Ghawish. Setelah itu, diteruskan di sekolah Guru Al-Mu’allimin. Pada tanggal 11 Oktober 1956, Hanafi meraih gelar sarjana dari Kuliyat Al-Adab (fakultas Adab) Universitas Kairo. Setelah ia pergi ke Sorbonne, Prancis untuk belajar Filsafat. Disini, ia sempat mendalami seni musik. Tahun 1966, ia berhasil meraih gelar doktor di Universitas yang sama, dengan disertasi berjudul Essai Sur la Methode d’exegese (Essai Tentang Penafsiran). Pada tahun 1971, karya setebal 900 halaman ini meraih penghargaan sebagai karya tulis terbaik di Mesir.
Tahun 1971-1975, Hanafi pergi ke Amerika serikat untuk mengajar di Universitas Temple. Disini, ia berkesempatan menulis karangan tentang agama Yahudi, Kristen dan Islam dalam rangka membangun dialog antar agama. Tahun 1975, Hanafi kembali ke Mesir. Periode 1976-1981 ikut aktif dalam gerakan anti Pemerintahan Presiden Anwar Sadat yang dinilainya sangat pro dengan Barat dan mau berdamai dengan Israel, musuh bebuyutan Islam dan Arab. Aktifitasnya ini menyebabkan ia dipecat dari Universitas Kairo dengan tuduhan menentang penguasa.
Jiwa pejuang memang telah nampak sejak Hanafi belia. Tahun 1946, ketika usianya belum menginjak sebelas tahun, Hanafi sudah terlibat dalam demonstrasi bersama buruh dan mahasiswa. Tahun 1952, setelah gagal menjadi anggota organisasi Pemuda Islam (Jam’iyyah Syubban Al-Muslimin) untuk bergabung dengan prajurit sukarelawan yang membela Palestina melawan Zionis[1] Israel karena usianya yang masih sangat muda, Hanafi resmi menjadi anggota Ikhwan al-Muslimin (Moslem Brother). Selama menjadi mahasiswa di Universitas Kairo, Hanafi terus terlibat pemerintahan Mesir melarang keberadaan organisai ini.
Selain sebagai seorang aktivis gerakan Islam, Hasan Hanafi adalah seorang filosof hukum Islam, seorang pemikir Islam dan juga seorang pelukis ulung. Beberapa tokoh dunia sempat menjadi obyek lukisannya, seperti Beethoven, Muhammad Abduh, Raja Farouk dan sebagainya. Hanafi banyak menyerap pengetahuan Barat dan mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pramodern dan modern. Hasan Hanafi termasuk pemikir Islam kontemporer yang bobot intelektualnya merambah dunia baru  Islam pasca modernisme.

1)    Ide dan Pemikiran Hasan Hanafi[2]
Sebagai pemikir dan filosof Islam, Hasan Hanafi menanamkan model baru dalam usaha memahami khazanah Islam klasik. Pemikirannya tergolong multi-lintas, dan ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu juga dan aspek pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggapnya terpinggirkan, sungguh luar biasa. Hasan Hanafi tergolong pemikir yang anti kemapanan. Ia selalu berada digaris minoritas kalau tidak tergolong melawan arus. Ketika semua orang menyokong kemapanan, ia berbalik membela kegelisahan. Corak pemikiran demikian, dianggap wacana baru, kontemporer, walawpun Hasan Hanafi sendiri menggagasnya sudah cukup lama, dengan karyanya yang berjudul “Kiri Islam”.
Pembicaraan itulah yang kelak menjadi perbincangan banyak kalangan. Meskipun banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang mengkritik atau paling tidak menggugah keabsahan istilah Hasan Hanafi yang menggunakan “kiri Islam” sebagai suatu identifikasi kesahihan Islam. Bagi kalangan yang mengkritik ide Hanafi, berprinsip bahwa Islam tidak mengenal kiri atau kanan, Islam tetaplah satu, dengan tuhan yang satu juga. Namun bagi Hanafi, hal itu hanya ada dalam tataran ideologis. Sedangkan secara realitas historis, umat Islam dihadapkan pada suatu pergaulan dan perbenturan berbagai kepentingan dan kekuatan, dan umat Islam hampir saja selalu berada di pihak yang terpinggirkan (kiri). Akan tetapi, sejumlah kalangan menganggap Hasan Hanafi memiliki gagasan orasional, butiran-butiran besar dan berwawasan radikalistik[3].

2)    Latar Belakang Kiri Islam
Semula, “kiri Islam” adalah nama sebuah jurnal berkala yang diterbitkan Hanafi pada tahun 1981, nama lengkap jurnalnya adalah Al-Yasar Al-Islami ; Kitabat fi al-Islamiyah (Kiri Islam ; Essai tentang kebangkitan Islam). Dalam jurnalnya ini, Hanafi menjelaskan bahwa dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (tauhid), dan kesatuan umat, diperlukan tiga pilar sebagai penopang Kiri Islam, Pilar pertama, adalah revitalisasi dan rasionalisasi khazanah islam klasik (al-Turots). Pilar kedua, adalah perlunya menantang peradaban Barat. Hanafi memperingatkan bahaya imperialisme kultural Barat dan mengusulkan oksidentalisme sebagai tandingan terhadap orientalisme guna mengakhiri mitos peradaban Barat. Sedangkan pilar ketiga adalah analisa terhadap realitas dunia Islam. Menurut Hanafi, dua hal yang menjadi ancaman dunia Islam kini adalah, dari luar Islam sendiri, yaitu Imperialisme, Zionisme dan Kapitalisme. Sedangkan ancaman dari dalam Islam adalah kemiskinan, ketertindasan, dan kerterbelakangan. Dan inilah yang menjadi fokus perhatian dari Kiri Islam, yang pada akhirnya kemudian menjadi trade mark pemikiran Hasan Hanafi.

Bagi Hanafi, “kiri” memiliki konotasi ilmiah. Penggunaan istilah “kiri” oleh Hanafi lebih mencerminkan sebuah realita dalam masyarakat muslim yang terbelah menjadi dua bagian, yaitu antara penguasa dan rakyat, si kaya dan si miskin, yang memiliki dua kepentingan yang sangat berseberangan. Bagi Hanafi, kelompok kiri Islam adalah representasi[4] dari kaum tertindas, dikuasai, miskin, dan termarjinalkan.
Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaharuan masyarakat kita dalam beberapa generasi hanya menghasilkan keberhasilan yang relatif, bahkan untuk sebagiannya gagal terutama dalam mengentaskan masalah keterbelakangan. Hal ini disebabkan karena pertama, berbagai tendensi[5] keagamaan yang terkooptasi[6] kekuasaan menjadi Islam hanya sekedari ritus dan kepercayaan ukhrawi. Kedua, Liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi yang terakhir, hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara. Sementara mayoritas rakyat ditempatkan di luar lapangan permainan yang  hanya ada dalam kerja-kerja revolusi. Ketiga, Marxisme yang mewujudkan keadilan sosial dan menentang Kolonialisme, ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan Nasional. Keempat, Nasionalisme Revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung kontradiksi dan mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Kiri Islam lahir dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakanan Nasional dan prinsip-prinsip Revolusi Sosialis.
Kiri Islam juga mendapat inspirasi dan keberhasilan Revolusi Islam akbar di Iran yang mengejutkan dunia. Dimana rakyat muslim tegak kokoh melawan tekanan militer dan menumbangkan Rezim Syah atas nama “Islam” dan “Kekuatan”  Allah Maha Besar, penumpas kaum otoriter, revolusi ini dapat disejajarkan dengan dua revolusi besar lain yaitu revolusi Prancis dan Bolsjevik, serta menjadi satu model bagi Revolusi dan keyakinan pada akhir abad XIV. Kiri Islam juga merupakan Resultan dan gerakan-gerakan kaum muslimin di Afganistan, Melayu, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah Nasional, yaitu memelihara otentitas dan kreativitas kaum muslimin yang juga memperjuangkan rakyat muslim di setiap tempat.

C. Muhammad Arkoun[7]
Mohammad Arkoun lahir pada 1 februari 1928 di Taourirt-Mimoun, Kabilia, sebelah Timur, Aljir, suatu daerah yang terletak di pegunungan Berbeer. Setelah merampungkan sekolah menengah atas di Oran, Kabilia, Arkoun belajar di Universitas Aljir untuk mendalami bahasa dan sastra Arab (195-1954). Namun saat terjadi perang Aljazair melawan Perancis, Arkoun melanjutkan studinya di Paris dan menekuni bahasa dan sastra Arab. Tahun 1956-1959, Arkoun menjadi guru sekolah menengah atas di Strasbourg. Tahun 1969, ia memperoleh gelar doktor dengan disetasinya berjudul “Humanisme dalam Pemikiran Ibnu Miskawaih”. Jenjang pendidikan yang dilalui Arkoun ini selanjutnya semakin memperaerat pergaulannya dengan tiga bahasa: Kabilia, Arab, dan Perancis.[8]
Ketajaman pemikirannya dan pemahamannya terhadap berbagai problema umat Islam, serta penguasaannya terhadap pengetahuan dan peradaban Barat yang semakin terasah ketika tinggal di Perancis, menjadikan ia dipercaya untuk mengajar di berbagai Universitas di sejumlah negara. Ia sempat menjadi dosen dan guru besar Ilmu Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Lyon, Aljazair pada tahun 1969-1972, juga Universitas Negeri Belanda di Amsterdam pada tahun 1993.

1. Karya Muhammad Arkoun
Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis. Ia memang tak banyak menulis dalam bahasa Inggris. Dalam bentuk buku, satu-satunya karya Arkoun dalam bahasa Inggris adalah Rethinking Islam Today, 1987, buku kecil yang semula merupakan bahan ceramahnya di Center for Contemporary Arab studies, Universitas Georgetown, Amerika Serikat,. Dalam bahasa Indonesia, satu-satunya buku Arkoun adalah Nalar Islam dan Nalar Modern; Tantangan dan Jalan Baru yang memuat beberapa artikelnya. Karyanya yang lain antara lain adalah Lectures de Coran (Telaah tentang Al-Qur’an), la Pensee Arabe (Dunia Pemikiran Arab), dan masih banyak lagi.
Karya-karyanya ini mencerminkan betapa besar perhatian Arkoun terhadap persoalan dalam Islam, yang secara garis besar bisa dikategorikan atas tiga hal, yaitu masalah permikiran Islam, sosial kemasyarakatan, dan pemahaman tentang kitab suci, pengertian etika, dan kaitan antara Islam dan modernitas.

2.      Ide dan Pemikiran Muhammad Arkoun
Arkoun mempunyai keunikan tersendiri dalam menggagas pemikirannya. Kebanyakan pemikirannya selain terilhami oleh gagasan-gagasan Barat kontemporer juga upayanya untuk menghidupkan pemikiran Islam dalam model dan corak baru. Namun begitu, ia tetap bersikap kritis terhadap para orientalis. Menurut Arkoun, kaum orientalis sering kali bertolak dari prasangka yang salah terhadap Islam. Oleh karena itu, Arkoun hendak menggantikan Islamologi Barat yang klasik dengan Islamologi terapan. Idenya ini ia tuangkan dalam bukunya, Pour Une Islamologie Applique (Untuk Islamologi Terapan). Tujuannya adalah untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan dan membebaskan pemikiran Islam dari bebragai tatanan usang dan mitologi yang menyesatkan. (Ensiklopedia Islam j.1,35)
Arkoun juga sangat concern terhadap masalah-masalah ekonomi, sosial, dan politik. Menurutnya, ada kesulitan besar bagi umat Islam untuk mengawinkan sikap yang berorientasi ke masa lalu, yang mendambakan ideologi Islam yang otentik, dengan sebuah peradaban modern.
Arkoun menganjurkan untuk melakukan usaha pembebasan atas pemikiran Islam dan kejumudan dan ketertutupan dengan pendekatan kajian histories dan kritis dengan perangkat pemikiran ilmu pengetahuan Barat mutakhir. Ia menggabungkan dalam berbagai karya antara pemikiran Islam dengan berbagai ilmu pengetahuan Barat mutakhir guna membebaskan Islam dari kejumudan dan ketertutupan, agar umat Islam bisa menghadapai tantangan modern.
Catatan yang penting dalam pemikiran Arkoun adalah tentang perlunya kesadaran dan daya kritis tinggi untuk mencermati khazanah pengetahuan Barat yang dipakai dalam mengkaji nilai Islam. Selain itu juga, ia ingin menyatukan semua perbedaan identitas sesama umat Islam dalam bahkan dengan non-muslim.
Dalam beberapa tulisannya tentang modernitas, Arkoun tidak secara tegas merumuskan batasan modernitas, apalagi tantangan yang dibawa olehnya. Meskipun demikian, pandangan Arkoun tentang persoalan modernitas ini dapat disimak dari berbagai tulisannya yang lain.
Ia menggabungkan dalam berbagai karya antara pemikiran Islam dengan berbagai ilmu pengetahuan Barat mutakhir guna membebaskan Islam dari kejumudan dan ketertutupan agar umat Islam bisa menghadapi tantangan modernis. Landasan utama pengetahuan modern yang menjadi pendekatan Arkoun terhadap Islam. Karena menurutnya, sejarah masyarakat Islam sangat berkaitan dengan masyarakat Barat. Tidak ada dikotomi antara pemikiran barat dengan pemikiran Islam. Keduanya harus dihargai.










PENUTUP

Dari uraian di muka dapat dikemukakan catatan penutup bahwa, di antara pemikir muslim, Hasan Hanafi dan Arkoun adalah contoh di antara para ilmuwan muslim yang ingin menegaskan bahwa Islam akan selalu selaras dengan perkembangan zaman. Pengistilahan nama “kiri” di sebelah nama Islam tidak mesti dikonotasikan sebagai gerakan sosialis Marxis, tetapi “kiri” adalah penegakan keadilan dan kesetaraan. Dan inilah yang agaknya ingin dicapai Islam. Yaitu penegakan keadilan sosial. Sedangkan Arkoun menegaskan bahwa  Islam dan Barat, tidaklah bertentangan dan tidak untuk dipertentangkan. Keduanya memiliki akar histories yang nyaris serumpun, dan untuk itu diperlukan evaluasi dan upaya menciptakan kondisi yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Melalui gagasan dan berbagai usahanya, Arkoun telah berusaha melakukan hal itu.


DAFTAR PUSTAKA

H.A. Fattah Wibisono, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009
Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,Jakarta:Paramadina,1998
Jhon Cooper, Pemikiran Islam,penerjemah: Wahid Nur Efendi, Jakarta: Erlangga, 2002
Muhammad Imarah, Islam Versus Barat, Jakarta: Robbani Press, 1998



[1] Gerakan (politik dsb) bangsa Yahudi yg ingin mendirikan negara sendiri yg merdeka dan berdaulat di Palestina
[2] Dr.H.A. Fattah Wibisono,MA, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009 h. 184

[3] Paham atau aliran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dng cara kekerasan atau drastis
[4] perbuatan mewakili
[5] kecenderungan
[6] dapat dipilih
[7] Dr.H.A. Fattah Wibisono,MA, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009 h. 187

[8] Drs.Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,(Jakarta:Paramadina,1998) hal.16

Selasa, 15 November 2011


HUBUNGAN NEGARA DENGAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh : Sarya/ PAI
Hubungan antara Islam dan politik selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan:
pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu kait-mengkait, yakni agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat berdasarkan Islam, di tempat dan waktu, telah sering terjadi dan mengalami pasang surut. Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coa dan belum ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di Indonesia.
Poin kedua dari alasan tersebut yang sering menimbulkan sikap arogan dari pemerintah. Sebetulnya sikap preventif terhadap usaha penerapan syariat sebagai landasan hukum tidak hanya pemerintah, melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah yang kami sebut hubungan agama dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita tidak setuju jika masalah agama di bawa ke wilayah Negara. Bagi mereka, agama adalah urusan pribadi antara dia dengan DIA. Atau mereka ingin menjaga hubungan suci dan sakral ini, tidak dicampuri urusan dana yang kotor. Apaka sikap mereka bisa digolongkan liberal? Jawabannya, bisa tetapi dengan catatan kita harus menilai “liberal” dari kacamata budaya bangsa Indonesia.
Menurut Masdar F. Mas’udi, hubungan agama dan Indonesia akan masih menjadi masalah. Menurutnya ada anggapan umum bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui (mengaburkan) batas-batas keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas seperti Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.
Pernyataan yang disampaikan beliau memang bukan tanpa alasan. Kalau kita menilik sejarah ke belakang baik pemimpin pasca proklamasi maupun orde baru, semua pemimpin bangsa ini tidak begitu kental keIslamannya. Sebagai paradigma politik memimpin bangsa ini justru lebih suka mengadopsi pemikiran (nilai-nilai) budaya.
Bahkan di era orde baru sikap preventif terhadap ormas atau organisasi agama begitu getol. Pemerintah berusaha mengkerdili umat Islam yang ingin memperjuangkan ajarannya lewat jalur sturktural. Sejumlah fakta menunjukkan hal tersebut, misalnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai resmi Islam selalu dibuat kerdil dengan berbagai cara, kegiatan-kegiatan semi kekerasan dibabat habis tanpa ampun, misalnya kasus Tanjung Priok, Lampung dan lain-lain. Semua hal itu dilakukan orde baru terhadap umat Islam karena orde baru sangat trauma dengan masa lalu di mana politik Islam sangat potensial untuk menggalang massa dan berbalik menyerang pemerintah sekaligus menjadi oposisi abadi kepada siapapun yang tengah berkuasa.
Setelah masa reformasi datang yang ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibe. Era reformasi disebut-sebut sebagai masa cerah bagi kehidupan bangsa Indonesia. Demokrasi, katanya, benar-benar tegak, keberadaaan pers, organisasi politik, ormas tidak lagi dibungkam dan dikerdilkan. Semua wahana ekspresi diberikan kebebasan sepenuhnya.
Melihat adanya peluang yang terbuka orma-ormas Islam menggunakan kesempatan yang baik untuk memperjuangkan syari’at Islam lewat jalur struktural yang selama orde baru terkekang. Usaha-usaha mereka bisa dilihat bagaimana banyaknya ormas-ormas Islam yang bermunculan seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin maupun parpol-parpol yang mengusung/ menggunakan simbol Islam. Selain perjuangan melalui ormas dan parpol, jalur lain yang ditempuh adalah melalui penerapan hukum-hukum Islam melalui celah-celah otonomi daerah.

Hubungan Islam dan Negara pada Era Reformasi
Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 menyebabkan perubahan drastic dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan drastis yang menonjol dibidang politik pasca orde baru antara lain: hilangnya kekuasaan represif dan bubarnya sistem bureaucratic polity pemerintah dipegang segelintir orang berubah menjadi pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat secara riil.
Perubahan birokrasi ternyata berdampak terhadap kebijakan-kebijakan terhadap semua aspek kehidupan bernegara termasuk kebijakan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Di saat orde baru berkuasa, kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat hanya sebatas retorika belaka. Bahkan pemerintah orde baru cenderung berperilaku sebagai rezim praetorian yang memiliki banyak kontrol yang mengawasi kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina Negara hingga persoalan personal semacam keluarga berencana.
Karena begitu ketatnya kontrol Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu” yang terbukti saat reformasi. kontrol tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi anak bangsa yang merasa terkekang sehingga pasca reformasi banyak bermunculan organisasi-organisasi massa (baik politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga press. Bahkan kata reformasi berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan individual maupun komunal.
Perubahan tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam untuk memperjuangkan ajaran agamanya agar setidaknya menjadi sumber hukum formal dalam kehidupan bernegara. Perjuangan ini lebih dikenal dengan perjuangan jalur strukturalis, yang mana di era orde baru pintu ini tertutup rapat dan pemerintah hanya membuka pintu kulturalis. Pernyataan selanjutnya adalah mengapa umat Islam begitu ambisius untuk memasukkan syariat ke dalam hukum Negara ini?
Dari sudut kuantitas, umat Islam merupakan mayoritas sehingga sudah sewajarnya jika pemerintah selalu memperhatikan kepentingan umat Islam dan mengakomodasikan sebanyak mungkin aspirasi Islam. Dengan kata lain, pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan programnya harus lebih memihak kepada Islam. Persoalan yang timbul adalah bagaimana dengan nasib umat minoritas? Keadaan mereka sebenarnya dalam posisi tidak aman. Mereka belum sepenuhnya percaya pada iktikad baik kelompok mayoritas yang berjanji akan melindungi eksistensi mereka.
Selain dilihat dari sudut kuantitas umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat Islam itu sendiri yakni Al-Quran dan As-Sunah. Agama Islam tidak pernah membedakan persoalan individu dengan persolan masyarakat, urusan dunia yang profan dan urusan akhirat yang trasendetal.
Dunia dan akhirat adalah dunia yang saling menjalin, seperti yang tersirat dalam ajaran Islam bahwa “dunia adalah ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang sebagai “ladang” sudah barang tentu keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola sesuai dengan tata krama-Nya. Agar kelak memberikan bekal yang baik di alam transenden. Kensekuensinya seluruh aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun individu harus “manut” dengan aturan tersebut. Dalam bermasyarakat atau berkelompok selalu memiliki tujuan-tujuan agama dan sekaligus mengabdi pada lestarinya nilai-nilai agama. Lebih jauh maka seluruh aktivitas muslim selalu diupayakan selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam, Al-Quran dan As-Sunah.
Semuanya itu perlu pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu diwujudkan dalam bentuk Negara, mengapa harus negara? Karena Negara mempunyai kekuasaan sekaligus wilayah yang membawahi rakyat. Dengan demikian harapan yang muncul adalah masyarakat bisa taat pada hukum Islam karena sudah ada institusi legal yang bisa menuntut sangsi bila hukum tersebut tidak dijalankan. Yang perlu digaris bawahi adalah bagi Islam tujuan bernegara adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama, keadilan sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam Negara adalah instrument bagi segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan social.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagimana mengartikulasikan wujud cita-cita tersebut di tengah pluralnya masyarakat? Untuk menjawab apalagi mengartikulasikan tidaklah mudah, banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Setidaknya ada dua kendala yang menjadi batu sandungan yakni kendala konsepsional dan kendala praktis. Kendala konsepsional adalah kendala bagaimana ajaran Islam yang normativ dapat dijabarkan menjadi separangkat aturan yang berfungsi untuk pelaksanaan di lapangan. Sedangkan kendala praktis yaitu kendala bagaimana implikasi praktis yang sangat mungkin timbul pada masyarakat yang plural.
Mohtar Mas’oed menuliskan bahwa setidaknya ada dua pendekatan sebagai upaya pengartikulasikan Islam dalam kehidupan masyarakat yaitu pertama, Islamisasi Negara nasional untuk kepentingan umat Islam dan kedua Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional. Yang dimaksud Islamisasi negara adalah upaya merealisasikan ajaran dalam Negara. Negara Indonesia di upayakan berdasarkan Islam. Pandangan ini muncul karena melihat kenyataan kuantitas umat Islam memang menjadi umat terbanyak dan sudah sewajarnya bila hukum Islam dijadikan sumber hukum Negara. Alasan logis karena yang akan merasakan adalah umat Islam. Toh, dalam hukum Islam juga ada hukum-hukum yang mengatur umat non-Islam yang disebut kaum zimmi. Keberadaan mereka tidak dikesampingkan begitu saja bahkan ajaran Islam menyuruh umatnya melindungi nyawa dan harta benda mereka.
Kritik bermunculan ketika cara ini akan ditempuh karena dinilai cara ini terlalu diskriminatif. Mereka mengatakan kemerdekaan Indonesia tidaklah semata-mata diraih umat Islam. Serta semenjak dahulu kepulauan nusantara tidak hanya dihuni oleh satu umat melainkan berbagai jenis umat, kepercayaan. Jadi kalau ada hukum agama yang dijadikan hukum konstitusional adalah mengingkari kenyataan bahwa negara ini memang plural. Selain itu mereka mencurigai umat Islam sebagai umat yang hegemonik dan egois kerena terlalu ambisius mempengaruhi kebijakan pemerintah. Lebih jauh lagi, umat Islam akan dianggap ekstrim, karena menganggap atau merasa bahwa agamanya yang paling benar.
Memang jalur struktural atau Islamisasi Negara nasional sering kali mengalami benturan baik dengan penguasa maupun dengan pihak umat agama lain. Pendekatan lain untuk mengartikulasikan Islam adalah Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional, yang dimaksud dengan pendekatan ini adalah penterjemahan politik Islam secara substansial, yakni ajaran-ajaran Islam diterjemahkan dalam bahasa- bahasa ekonomi, kemanusiaan, hak asasi manusia, pemberdayaan masyakat, dan lain-lain. Pendekatan ini memandang perjuangan Islam tidaklah sempit, yaitu terbatas pada arena politik dan parlemen, namun lebih luas dari itu, yaitu meliputi kebudayaan, pendidikan dan lain-lain. Bagi mereka yang menggunakan pendekatan ini yang penting adalah pesan-pesan pokok Islam dapat terwujud seperti semangat egalitarian, humanitas, demokrasi, keadilan sosial, dan lain-lain serta tidak mengedepankan wacana negara Islam.
Pendekatan model ini lebih disukai oleh tokoh-tokoh Islam dan penguasa. Selain itu, pendekatan ini lebih mengedepankan sikap saling mejaga keharmonisan antara umat beragama serta menjaga hubungan Islam dan penguasa yang selama ini selalu terjadi konflik diantara mereka. Pendekatan ini memang harus dipahami umat Islam sendiri bahwa pendekatan ini lebih menguntungkan bagi keberlangsungan Negara dan agama. Syarat ayang harus di miliki adalah bagimana memandang dan memperlakukan Islam sendiri. Apakah Islam dipandang secara tekstual atau memahami hakikat mengapa Islam itu diturunkan. Secara hakikat Islam turun sebagai rahmatan lil ‘alamin, sebagai rahmat bagi alam. Tentu banyak jalan untuk membumikan pada tatanan kehidupan masyarakat sehingga terwujud masyarakat madani. Semua ini asalah tinggal umat Islam sendiri memandang Islam, sebatas kulit atau menyeluruh. 

Sumber:

Rabu, 26 Oktober 2011

Asas dan Dasar Filosofis Filsafat Ilmu


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Filsaftat  ilmu memiliki objek material dan objek formal. Objek material merupakan ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu ilmu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sedangkan, objek formal merupakan hakikat atau esensi ilmu pengetahuan; problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti apa hakikat itu sesungguhnya.
Suatu peristiwa atau kejadian pada dasarnya tidak pernah lepas dari peristiwa lain yang mendahuluinya. Demikian juga dengan timbul dan berkembangnya filsafat dan ilmu. Menurut Rinjin (1997 : 9-10), filsafat dan ilmu timbul dan berkembang karena akal budi, thauma, dan aporia. Manusia merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnya saja kekaguman pada matahari, bumi, dirinya sendiri dan seterusnya. Kekaguman tersebut kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai eksistensi, hakikat, dan tujuan hidupnya.
Ada tiga hal yang menjadi landasan dan karakteristik filsafat ilmu. Karakteristik filsafat ilmu antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat.
b.      Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari sudut pandang ontologis, epistemologis, dan aksiologis.






PEMBAHASAN
A.    Asas-asas Filsafat Ilmu

Yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian juga ilmu pengetahuan dan agama. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu pengetahuan adalah kebenaran akal, sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran wahyu. Meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh juga bermacam-macam. Yang terpenting adalah bagaimana agar aliran yang bermacam-macam dalam filsafat dan ilmu pengetahuan itu tidak saling bertabrakan satu sama lain, tetapi dapat saling membantu dan bekerja sama.[1]
Antara filsafat dan ilmu memiliki persamaan dalam hal bahwa keduanya merupakan hasil ciptaan kegiatan fikiran manusia, yaitu berfikir filosofis, spekulatif, dan empiris ilmiah. Karenanya, filsafat inilah kemudian disebut sebagai induknya ilmu pengetahuan.[2] Pernyataan tersebut menjadi asaz sekaligus perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan diantaranya:
a.       Mengenai lapangan pembahasan. Lapangan ilmu pengetahuan mempunyai daerah-daerah tertentu, yaitu alam dengan segala kejadiannya. Sedangkan lapangan pembahasan filsafat adalah tentang hakikat yang umum dan luas.
b.      Mengenai tujuannya. Tujuan ilmu pengetahuan adalah berusaha menentuka sifat-sifat dari kejadian alam yang didalamnya juga terdapat manusia. Sedangkan filsafat bertujuan untuk mengetahui tentang asal-usul manusia, hubungan manusia dan alam semesta dan bagaimana akhirnya ( hari kemudian)
c.       Mengenai cara pembahasannya. Filsafat dalam pembahasannya tidak mempergunakan percobaan-percobaan serta penyelidikan panca indera, tetapi pembahasan penyelidikannya menggunakan pikiran dan akal. Sedangkan ilmu pengetahuan dalam pembahasan dan penyelidikannya menggunakan panca indera dan percobaan-percobaan.
d.      MKengenai kesimpulan. Ilmu pengetahuan dalam menentukan kesimpulan-kesimpulannya dapat diterapkan dengan dalil-dalil yakin yang didasarkan pada penglihatan dan percobaan-percobaan. Sebaliknya filsafat dalam memberi kesimpulan tidak memberikan keyakinan mutlak, sebagai kesimpulan selalu mengandung keraguan yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan pendapat diantara ahli-ahli filsafat, serta jauh dari kepastian, kerja sama dan keyakinan.[3]
Pada dasarnya Filsafat Ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan), yang secara spesifik mengkaji tentang hakikat-hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Sedangkan ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Secara metodologis, ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam (natural sciences) dengan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Namun karena permasalahan-permasalahan tekhnis yang bersifat khas, maka Filsafat Ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial.
Di zaman Plato, bahkan sampai masa al Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan ole manusia. Sebab manusia hari ini mementingkan ilmu yang sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit “dibumikan”.

B.     Landasan (Dasar) Filosofis Filsafat Ilmu
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menentukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berfikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai criteria kebenaran, dan criteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran dimana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai criteria kebenaran masing-masing.[4] Filsafat ilmu dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu :
1.      Aksiologi
Adalah bidang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai. Secara aksiologis ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
2.      Epistimologi
Adalah bidang filsafat yang mempelajari bagaimana cara manusia mengetahui sesuatu “ada” tersebut.
3.      Ontologi
Adalah bidang filsafat yang mempelajari segala sesuatu, baik yang tampak secara fisik (fenomena)atau sesuatu yang berada dibalik realitas. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.

C.     Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu
Diantara manfaat –manfaat yang diperoleh dalam mempelajari Filsafat Ilmu adalah:
1.      Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mahasiswa semakin kritis dalam sikap ilmiahnya. Mahasiswa sebagai insan kampus diharapkan untuk bersikap kritis terhadap berbagai macam teori. yang dipelajarinya di ruang kuliah maupun dari sumber-sumber lainnya.
2.      Mempelajari filsafat ilmu mendatangkan kegunaan bagi parama hasiswa sebagai calon ilmuwan untuk mendalami metode ilmiah dan untuk melakukan penelitian ilmiah. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mereka memiliki pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian ilmiah.
3.      Mempelajari filsafat ilmu memiliki manfaat praktis. Setelah mahasiswa lulus dan bekerja mereka pasti berhadapan dengan berbagai masalah dalam pekerjaannya. Untuk memecahkan masalah diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Dalam konteks inilah pengalaman mempelajari filsafat ilmu diterapkan.





















KESIMPULAN
            Dari penjelasan makalah diatas, dapat kami simpulkan bahwa:
a.       Ada beberapa aliran filsafat, masing-masing dengan dasar pemikiran tersendiri., diantaranya: Aliran Perenialisme, Aliran Idealisme, Filsafat Realisme, Aliran Pragmatisme, dan Aliran Eksistensialisme.
b.      Aksiologi adalah bidang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai. Epistimologi adalah bidang filsafat yang mempelajari bagaimana cara manusia mengetahui sesuatu “ada” tersebut. Ontologi adalah bidang filsafat yang mempelajari segala sesuatu, baik yang tampak secara fisik (fenomena)atau sesuatu yang berada dibalik realitas.















Daftar Referensi
Jujun S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah pengantar popular, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan), 1998.
Soetrisno, dkk, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta; CV. Andi Offset, 2007)

Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), Cet ke-I




[1] Soetrisno, dkk, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta; CV. Andi Offset, 2007),  hlm. 23
[2] Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), Cet ke-I, hlm. 127
[3] Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis….., hlm 128
[4] Jujun S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah pengantar popular, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan), 1998. H. 43

Makalah_Perencanaan & Strategi Pembelajaran


PERBEDAAN STRATEGI, METODE, PENDEKATAN, TEKNIK DAN TAKTIK PEMBELAJARAN
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif permanen pada pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan tingkah laku, yang terjadi sebagai hasil dari  usaha yang disengaja dan pengalaman yang terkontrol dan tidak terkontrol. Dalam Undang-Undang N0. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, istilah belajar tidak ditemukan. Istilah yang digunakan adalah pembelajaran. Pembelajaran didefinisikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah tersebut adalah, pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik pembelajaran, dan taktik pembelajaran.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang memadai dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan, sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para guru atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran, yang kadang-kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun penelitian tindakan) sangat sulit menermukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika para guru (calon guru) telah dapat memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta konsep dan teori) pembelajaran, maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada.


PERBEDAAN STRATEGI, METODE, PENDEKATAN, TEKNIK DAN TAKTIK PEMBELAJARAN
PEMBAHASAN
A.    Definisi Strategi, Metode, Pendekatan, Teknik dan Taktik  Pembelajaran
Pada mulanya istilah strategi digunakan dalam dunia militer yang diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan. Demikian pula seorang pelatih sepak bola, ia akan menentukan strategi yang dianggapnya tepat untuk memenangkan suatu pertandingan setelah ia memahami segala potensi yang dimiliki timnya. Apakah ia akan melakukan strategi menyerang dengan pola 2-3-5 misalnya, atau strategi bertahan dengan pola 5-3-2, semuanya sangat tergantung kepada kondisi tim yang dimilikinya serta kekuatan tim lawan. Dari dua ilustrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan.[1]
Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method,  or series of activities designed to achieves a particular educational goal (J.R. David, 1976). Jadi dengan demikian strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[2] Dalam konteks pembelajaran berdasarkan KBK, strategi dapat dikatakan sebagai pola umum yang berisi tentang rentetan kegiatan yang dapat dijadikan sebagai pedoman (petunjuk umum) agar kompetesi sebagai tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Pola atau cara yang ditetapkan sebagai hasil dari kajian strategi itu dalam proses pembelajaran dinamakan dengan metode pembelajaran. Jadi dengan demikian metode pada dasarnya berangkat dari suatu strategi tertentu.[3]
Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain
strategi merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something” (Wina Senjaya (2008).[4]
Adapun metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya:
1.      Metode ceramah adalah metode yang lebih banyak dilakukan oleh guru sementara anak didiknya bersifat pasif;
2.      Metode demonstrasi adalah suatu metode yang menggunakan atau memperlihatkan suatu proses, mekanisme, atau cara kerja suatu alat dengan bahan pelajaran
3.      Metode diskusi adalah metode yang bertujuan untuk memecahkan atau menemukan solusi masalah yang ditemukan dalam mempelajari materi pembelajaran.
4.      Metode tanya jawab adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui bentuk pertanyaan yang perlu dijawab oleh anak didik.
5.      Metode eksperimen adalah metode yang memberikan kesempatan kepada anak didik baik perorangan ataupun perkelompok untuk melakukan suatu percobaan di laboratorium atau lapangan guna membuktikan suatu teori atau menemukan sendiri suatu pengetahuan baru bagi anak didik.
6.      Metode pemberian tugas (resitasi) adalah metode yang menugaskan kepada anak didik untuk mengerjakan sesuatu dengan tujuan memantapkan, mendalami dan memperkarya materi yang sudah dipelajari.
Kemudian  Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu :
1.      Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.
2.      Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran.
3.      Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran.
4.      Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
1.      Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik.
2.      Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif.
3.      Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran.
4.      Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.
Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.
Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga seni (kiat)
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.[5]

B.     Penentuan Metode Sesuai Dengan Pertimbangan
Pembelajaran pada dasarnya adalah proses penambahan informasi dan kemampuan baru. Ketika kita berfikir informasi dan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh siswa, maka pada saat itu juga kita semestinya berfikir strategi apa yang harus dilakukan agar semua itu dapat tercapai secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, sebelum menentukan strategi pembelajaran yang dapat digunakan, ada beberapa pertimbangan yang harus dilakukan:
1.      Pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan adalah:
a.       Apakah tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berkenaan dengan aspek kognitif, afektif, atau psikomotorik?
b.      Bagaimana kompleksitas tunuan pembelajaran yang ingin dicapai, apakah tingkat tinggi atau rendah
c.       Apakah untuk mencapai tujuan itu memerlukan keterampilan akademis?
2.      Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran:
a.       Apakah materi pelajaran itu berupa fakta, konsep, hokum, atau teori tertentu?
b.      Apakah untuk mempelajari materi pembelajaran itu memerlukan prasyarat tertentu atau tidak?
c.       Apakah tersedia buku-buku sumber untuk mempelajari materi itu?
3.      Pertimbangan dari sudut siswa:
a.       Apakah strategi pembelajaran sesuai dengan tingkat kematangan siswa?
b.      Apakah strategi pembelajaran itu sesuai dengan minat, bakat dan kondisi siswa?
c.       Apakah strategi pembelajaran itu sesuai dengan gaya belajar siswa?
4.      Pertimbangan-pertimbangan lainnya:
a.       Apakah untuk mencapai tujuan hanya cukup dengan satu strategi saja?
b.      Apakah strategi yang kita terapkan satu-satunya strategi yang dapat digunakan?
c.       Apakah strategi itu memiliki nilai efektivitas dan efisiensi?
Pertanyaan-pertanyaan diatas, merupakan bahan pertimbangan dalam menetapkan strategi yang ingin diterapkan.[6]

C.    Hal-hal yang Berkaitan Dengan Pertimbangan Pemilihan Strategi Pembelajaran
Dalam memilih media untuk keperluan pembelajaran, guru perlu mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu variabel tugas, variabel siswa, lingkungan belajar, lingkungan pengembangan, ekonomi dan budaya, serta faktor-faktor praktis. Pertimbangan yang lebih singkat dalam pemilihan media adalah tujuan pembelajaran, siswa/mahasiswa, ketersediaan, ketepatgunaan, biaya, dan mutu teknis. Untuk mengembangkan media grafis, sebaiknya memperhatikan prinsip-prinsip umum, yaitu kesederhanaan, kesatuan, penekanan, dan keseimbangan formal maupun informal. Alat-alat visual yang dapat membantu keberhasilan penggunaan prinsip-prinsip tersebut adalah garis, bentuk, ruang, tekstur, dan warna. Apabila Anda memiliki beberapa gambar, bentuk-bentuk, kata-kata atau simbol-simbol lain yang akan dipajang dalam suatu papan, misalnya Anda perlu menyusunnya terlebih dahulu dalam suatu layout (tata letak) agar susunan yang Anda ciptakan tampak harmonis.
Agar penggunaan media dalam pembelajaran berhasil dengan baik, diperlukan langkah umum, seperti persiapan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut. Molenda, dkk., mengemukakan suatu model penggunaan media yang dinamakan model ASSURE, yang merupakan akronim dari kata-kata dalam bahasa Inggris yang, artinya analisis karakteristik siswa, menentukan tujuan, memilih materi, memanfaatkan materi, menuntut respons siswa, dan mengevaluasi hasil belajar.























KESIMPULAN
            Dari penjelasan makalah diatas, dapat kami simpulkan bahwa:
a.       Dalam dunia pendidikan, ada beberapa istilah yang harus diketahui. Istilah-istilah tersebut adalah, pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik pembelajaran, dan taktik pembelajaran
b.      Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
c.       Adapun metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran.
d.      Ada beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya adalah: metode ceramah, metode demonstrasi, metode diskusi, metode tanya jawab, metode pemberian tugas, metode eksperimen
e.       Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
f.       Metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik.
g.      Taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual.










Daftar Referensi

Wina sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)

Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: kencana, 2008)







[1] Wina sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet ke-5. Hal 126
[2] Wina sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,….. hlm. 126
[3] Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: kencana, 2008), cet ke- III, hlm. 99
[6] Wina sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar ….. Hal 130