Saryadi al - Faqier
innahu Min Sulaimaan Wainnahu "Bismillahirrahmaanirrahiim
Selasa, 28 Januari 2014
*Sabar itu sulit tapi indah*
*seperti sabarnya kaktus yang bertahan di padang pasir yang panas*
*untuk menanti sekuncup bungan yang menghibur nya*
*Sabar bukan berarti lemah , dan juga bukan berarti kalah*
*justru sabar adalah benteng keselamatan dari keputusasaan*
*bertawakkal atas segala ujian ..*
Selasa, 20 Desember 2011
HASAN HANAFI DAN MOH. ARKOUN
HASAN HANAFI DAN MOH. ARKOUN
A.
Latar Belakang
Disamping sebagai pemikir Islam, Hasan Hanafi adalah seorang Filosof
Hukum Islam, Seorang guru, juga guru besar pada Fakultas Filsafat Universitas
Kairo. Ia mengkonsentrasikan pemikirannya pada kajian Pemikiran Barat pra
Modern dan Modern. Hasan Hanafi termasuk pemikir Islam Kontemporer yang bobot
intelektualnya merambah dunia baru Islam pasca modernisme. Salah satu pemikiran
Hasan Hanafi adalah karyanya yang berjudul “Kiri Islam”. Sementara itu,
Mohammamad Arkoun mempunyai kegandrungan terhadap bahasa dan sastra, dan tentu
saja pemikiran Islam. Salah satu karyanya dalam bahasa Inggris yaitu : Reithingking
Islam Today.
B. Hasan
Hanafi
Hasan
Hanafi lahir pada 13 Februari 1935, di Kairo, dekat benteng Salahudin, sebuah
perkampungan di Al-Azhar. Keluarganya berasal dari Banu Swaif, Mesir Selatan,
dan kemudian pindah ke Kairo. Sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani Mur,
satu kabilah dengan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasr. (Abad Badruzzaman,
2005;41)
Ketika
berusia lima tahun, Hanafi mulai menghafal al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh
Sayyid. Jenjang pendidikan dasarnya dilaluinya di Madrasah Suleyman Ghawish.
Setelah itu, diteruskan di sekolah Guru Al-Mu’allimin. Pada tanggal 11 Oktober
1956, Hanafi meraih gelar sarjana dari Kuliyat Al-Adab (fakultas Adab)
Universitas Kairo. Setelah ia pergi ke Sorbonne, Prancis untuk belajar
Filsafat. Disini, ia sempat mendalami seni musik. Tahun 1966, ia berhasil
meraih gelar doktor di Universitas yang sama, dengan disertasi berjudul Essai
Sur la Methode d’exegese (Essai Tentang Penafsiran). Pada tahun 1971, karya
setebal 900 halaman ini meraih penghargaan sebagai karya tulis terbaik di
Mesir.
Tahun 1971-1975, Hanafi pergi ke Amerika serikat untuk mengajar di Universitas
Temple. Disini, ia berkesempatan menulis karangan tentang agama Yahudi, Kristen
dan Islam dalam rangka membangun dialog antar agama. Tahun 1975, Hanafi kembali
ke Mesir. Periode 1976-1981 ikut aktif dalam gerakan anti Pemerintahan Presiden
Anwar Sadat yang dinilainya sangat pro dengan Barat dan mau berdamai dengan
Israel, musuh bebuyutan Islam dan Arab. Aktifitasnya ini menyebabkan ia dipecat
dari Universitas Kairo dengan tuduhan menentang penguasa.
Jiwa pejuang memang telah nampak sejak Hanafi belia. Tahun 1946,
ketika usianya belum menginjak sebelas tahun, Hanafi sudah terlibat dalam
demonstrasi bersama buruh dan mahasiswa. Tahun 1952, setelah gagal menjadi
anggota organisasi Pemuda Islam (Jam’iyyah Syubban Al-Muslimin) untuk
bergabung dengan prajurit sukarelawan yang membela Palestina melawan Zionis[1]
Israel karena usianya yang masih sangat muda, Hanafi resmi menjadi anggota Ikhwan
al-Muslimin (Moslem Brother). Selama menjadi mahasiswa di Universitas
Kairo, Hanafi terus terlibat pemerintahan Mesir melarang keberadaan organisai
ini.
Selain sebagai seorang aktivis gerakan Islam, Hasan Hanafi adalah
seorang filosof hukum Islam, seorang pemikir Islam dan juga seorang pelukis
ulung. Beberapa tokoh dunia sempat menjadi obyek lukisannya, seperti Beethoven,
Muhammad Abduh, Raja Farouk dan sebagainya. Hanafi banyak menyerap pengetahuan
Barat dan mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pramodern dan
modern. Hasan Hanafi termasuk pemikir Islam kontemporer yang bobot intelektualnya
merambah dunia baru Islam pasca
modernisme.
Sebagai pemikir dan filosof Islam, Hasan Hanafi menanamkan model
baru dalam usaha memahami khazanah Islam klasik. Pemikirannya tergolong
multi-lintas, dan ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu juga dan aspek
pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggapnya terpinggirkan, sungguh luar
biasa. Hasan Hanafi tergolong pemikir yang anti kemapanan. Ia selalu berada
digaris minoritas kalau tidak tergolong melawan arus. Ketika semua orang
menyokong kemapanan, ia berbalik membela kegelisahan. Corak pemikiran demikian,
dianggap wacana baru, kontemporer, walawpun Hasan Hanafi sendiri menggagasnya
sudah cukup lama, dengan karyanya yang berjudul “Kiri Islam”.
Pembicaraan itulah yang kelak menjadi perbincangan banyak kalangan.
Meskipun banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang mengkritik atau paling
tidak menggugah keabsahan istilah Hasan Hanafi yang menggunakan “kiri Islam”
sebagai suatu identifikasi kesahihan Islam. Bagi kalangan yang mengkritik ide
Hanafi, berprinsip bahwa Islam tidak mengenal kiri atau kanan, Islam tetaplah
satu, dengan tuhan yang satu juga. Namun bagi Hanafi, hal itu hanya ada dalam
tataran ideologis. Sedangkan secara realitas historis, umat Islam dihadapkan
pada suatu pergaulan dan perbenturan berbagai kepentingan dan kekuatan, dan
umat Islam hampir saja selalu berada di pihak yang terpinggirkan (kiri). Akan
tetapi, sejumlah kalangan menganggap Hasan Hanafi memiliki gagasan orasional,
butiran-butiran besar dan berwawasan radikalistik[3].
2)
Latar Belakang Kiri Islam
Semula, “kiri Islam” adalah nama sebuah jurnal berkala yang
diterbitkan Hanafi pada tahun 1981, nama lengkap jurnalnya adalah Al-Yasar
Al-Islami ; Kitabat fi al-Islamiyah (Kiri Islam ; Essai tentang kebangkitan
Islam). Dalam jurnalnya ini, Hanafi menjelaskan bahwa dalam rangka mewujudkan
kebangkitan Islam, revolusi Islam (tauhid), dan kesatuan umat, diperlukan tiga
pilar sebagai penopang Kiri Islam, Pilar pertama, adalah revitalisasi dan
rasionalisasi khazanah islam klasik (al-Turots). Pilar kedua, adalah
perlunya menantang peradaban Barat. Hanafi memperingatkan bahaya imperialisme
kultural Barat dan mengusulkan oksidentalisme sebagai tandingan terhadap
orientalisme guna mengakhiri mitos peradaban Barat. Sedangkan pilar ketiga adalah
analisa terhadap realitas dunia Islam. Menurut Hanafi, dua hal yang menjadi
ancaman dunia Islam kini adalah, dari luar Islam sendiri, yaitu Imperialisme, Zionisme
dan Kapitalisme. Sedangkan ancaman dari dalam Islam adalah kemiskinan,
ketertindasan, dan kerterbelakangan. Dan inilah yang menjadi fokus perhatian
dari Kiri Islam, yang pada akhirnya kemudian menjadi trade mark pemikiran Hasan
Hanafi.
Bagi Hanafi, “kiri” memiliki konotasi ilmiah. Penggunaan istilah “kiri”
oleh Hanafi lebih mencerminkan sebuah realita dalam masyarakat muslim yang
terbelah menjadi dua bagian, yaitu antara penguasa dan rakyat, si kaya dan si
miskin, yang memiliki dua kepentingan yang sangat berseberangan. Bagi Hanafi,
kelompok kiri Islam adalah representasi[4]
dari kaum tertindas, dikuasai, miskin, dan termarjinalkan.
Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaharuan masyarakat
kita dalam beberapa generasi hanya menghasilkan keberhasilan yang relatif,
bahkan untuk sebagiannya gagal terutama dalam mengentaskan masalah
keterbelakangan. Hal ini disebabkan karena pertama, berbagai tendensi[5]
keagamaan yang terkooptasi[6]
kekuasaan menjadi Islam hanya sekedari ritus dan kepercayaan ukhrawi. Kedua,
Liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi yang terakhir,
hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara. Sementara mayoritas
rakyat ditempatkan di luar lapangan permainan yang hanya ada dalam kerja-kerja revolusi. Ketiga,
Marxisme yang mewujudkan keadilan sosial dan menentang Kolonialisme, ternyata
tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka untuk
mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan Nasional. Keempat, Nasionalisme
Revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem
politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung kontradiksi
dan mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Kiri Islam lahir dalam rangka
merealisasikan tujuan-tujuan pergerakanan Nasional dan prinsip-prinsip Revolusi
Sosialis.
Kiri Islam juga mendapat inspirasi dan keberhasilan Revolusi Islam
akbar di Iran yang mengejutkan dunia. Dimana rakyat muslim tegak kokoh melawan
tekanan militer dan menumbangkan Rezim Syah atas nama “Islam” dan “Kekuatan” Allah Maha Besar, penumpas kaum otoriter, revolusi
ini dapat disejajarkan dengan dua revolusi besar lain yaitu revolusi Prancis
dan Bolsjevik, serta menjadi satu model bagi Revolusi dan keyakinan pada akhir
abad XIV. Kiri Islam juga merupakan Resultan dan gerakan-gerakan kaum muslimin
di Afganistan, Melayu, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam
sebagai khazanah Nasional, yaitu memelihara otentitas dan kreativitas kaum
muslimin yang juga memperjuangkan rakyat muslim di setiap tempat.
C. Muhammad Arkoun[7]
Mohammad Arkoun lahir pada 1 februari 1928 di Taourirt-Mimoun,
Kabilia, sebelah Timur, Aljir, suatu daerah yang terletak di pegunungan
Berbeer. Setelah merampungkan sekolah menengah atas di Oran, Kabilia, Arkoun
belajar di Universitas Aljir untuk mendalami bahasa dan sastra Arab (195-1954).
Namun saat terjadi perang Aljazair melawan Perancis, Arkoun melanjutkan
studinya di Paris dan menekuni bahasa dan sastra Arab. Tahun 1956-1959, Arkoun
menjadi guru sekolah menengah atas di Strasbourg. Tahun 1969, ia memperoleh
gelar doktor dengan disetasinya berjudul “Humanisme dalam Pemikiran Ibnu
Miskawaih”. Jenjang pendidikan yang dilalui Arkoun ini selanjutnya semakin
memperaerat pergaulannya dengan tiga bahasa: Kabilia, Arab, dan Perancis.[8]
Ketajaman pemikirannya dan pemahamannya terhadap berbagai problema
umat Islam, serta penguasaannya terhadap pengetahuan dan peradaban Barat yang
semakin terasah ketika tinggal di Perancis, menjadikan ia dipercaya untuk
mengajar di berbagai Universitas di sejumlah negara. Ia sempat menjadi dosen
dan guru besar Ilmu Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Lyon, Aljazair pada
tahun 1969-1972, juga Universitas Negeri Belanda di Amsterdam pada tahun 1993.
1. Karya Muhammad Arkoun
Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis. Ia memang
tak banyak menulis dalam bahasa Inggris. Dalam bentuk buku, satu-satunya karya
Arkoun dalam bahasa Inggris adalah Rethinking Islam Today, 1987, buku
kecil yang semula merupakan bahan ceramahnya di Center for Contemporary Arab
studies, Universitas Georgetown, Amerika Serikat,. Dalam bahasa Indonesia,
satu-satunya buku Arkoun adalah Nalar Islam dan Nalar Modern;
Tantangan dan Jalan Baru yang memuat beberapa artikelnya. Karyanya yang
lain antara lain adalah Lectures de Coran (Telaah tentang Al-Qur’an), la
Pensee Arabe (Dunia Pemikiran Arab), dan masih banyak lagi.
Karya-karyanya ini mencerminkan betapa besar perhatian Arkoun
terhadap persoalan dalam Islam, yang secara garis besar bisa dikategorikan atas
tiga hal, yaitu masalah permikiran Islam, sosial kemasyarakatan, dan pemahaman
tentang kitab suci, pengertian etika, dan kaitan antara Islam dan modernitas.
2.
Ide dan Pemikiran Muhammad
Arkoun
Arkoun mempunyai keunikan tersendiri
dalam menggagas pemikirannya. Kebanyakan pemikirannya selain terilhami oleh
gagasan-gagasan Barat kontemporer juga upayanya untuk menghidupkan pemikiran
Islam dalam model dan corak baru. Namun begitu, ia tetap bersikap kritis
terhadap para orientalis. Menurut Arkoun, kaum orientalis sering kali bertolak
dari prasangka yang salah terhadap Islam. Oleh karena itu, Arkoun hendak menggantikan
Islamologi Barat yang klasik dengan Islamologi terapan. Idenya ini ia tuangkan
dalam bukunya, Pour Une Islamologie Applique (Untuk Islamologi Terapan).
Tujuannya adalah untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan dan membebaskan
pemikiran Islam dari bebragai tatanan usang dan mitologi yang menyesatkan.
(Ensiklopedia Islam j.1,35)
Arkoun
juga sangat concern terhadap masalah-masalah ekonomi, sosial, dan politik. Menurutnya,
ada kesulitan besar bagi umat Islam untuk mengawinkan sikap yang berorientasi
ke masa lalu, yang mendambakan ideologi Islam yang otentik, dengan sebuah
peradaban modern.
Arkoun
menganjurkan untuk melakukan usaha pembebasan atas pemikiran Islam dan
kejumudan dan ketertutupan dengan pendekatan kajian histories dan kritis dengan
perangkat pemikiran ilmu pengetahuan Barat mutakhir. Ia menggabungkan dalam
berbagai karya antara pemikiran Islam dengan berbagai ilmu pengetahuan Barat
mutakhir guna membebaskan Islam dari kejumudan dan ketertutupan, agar umat
Islam bisa menghadapai tantangan modern.
Catatan
yang penting dalam pemikiran Arkoun adalah tentang perlunya kesadaran dan daya
kritis tinggi untuk mencermati khazanah pengetahuan Barat yang dipakai dalam
mengkaji nilai Islam. Selain itu juga, ia ingin menyatukan semua perbedaan
identitas sesama umat Islam dalam bahkan dengan non-muslim.
Dalam
beberapa tulisannya tentang modernitas, Arkoun tidak secara tegas merumuskan
batasan modernitas, apalagi tantangan yang dibawa olehnya. Meskipun demikian,
pandangan Arkoun tentang persoalan modernitas ini dapat disimak dari berbagai
tulisannya yang lain.
Ia
menggabungkan dalam berbagai karya antara pemikiran Islam dengan berbagai ilmu
pengetahuan Barat mutakhir guna membebaskan Islam dari kejumudan dan
ketertutupan agar umat Islam bisa menghadapi tantangan modernis. Landasan utama
pengetahuan modern yang menjadi pendekatan Arkoun terhadap Islam. Karena
menurutnya, sejarah masyarakat Islam sangat berkaitan dengan masyarakat Barat.
Tidak ada dikotomi antara pemikiran barat dengan pemikiran Islam. Keduanya
harus dihargai.
PENUTUP
Dari
uraian di muka dapat dikemukakan catatan penutup bahwa, di antara pemikir
muslim, Hasan Hanafi dan Arkoun adalah contoh di antara para ilmuwan muslim
yang ingin menegaskan bahwa Islam akan selalu selaras dengan perkembangan
zaman. Pengistilahan nama “kiri” di sebelah nama Islam tidak mesti
dikonotasikan sebagai gerakan sosialis Marxis, tetapi “kiri” adalah penegakan
keadilan dan kesetaraan. Dan inilah yang agaknya ingin dicapai Islam. Yaitu
penegakan keadilan sosial. Sedangkan Arkoun menegaskan bahwa Islam dan Barat, tidaklah bertentangan dan
tidak untuk dipertentangkan. Keduanya memiliki akar histories yang nyaris
serumpun, dan untuk itu diperlukan evaluasi dan upaya menciptakan kondisi yang
saling menguntungkan kedua belah pihak. Melalui gagasan dan berbagai usahanya,
Arkoun telah berusaha melakukan hal itu.
DAFTAR PUSTAKA
H.A. Fattah Wibisono, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di
Dunia Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009
Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,Jakarta:Paramadina,1998
Jhon Cooper, Pemikiran Islam,penerjemah: Wahid Nur Efendi,
Jakarta: Erlangga, 2002
Muhammad Imarah, Islam Versus Barat, Jakarta: Robbani Press,
1998
[1]
Gerakan (politik dsb) bangsa Yahudi yg ingin mendirikan negara sendiri
yg merdeka dan berdaulat di Palestina
[2]
Dr.H.A. Fattah Wibisono,MA, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia
Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009 h. 184
[3]
Paham atau aliran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik dng cara kekerasan atau drastis
[4]
perbuatan mewakili
[5]
kecenderungan
[6]
dapat dipilih
[7]
Dr.H.A. Fattah Wibisono,MA, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia
Islam, Tangerang : Rabbani Press, cet 1, 2009 h. 187
[8]
Drs.Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,(Jakarta:Paramadina,1998)
hal.16
Selasa, 15 November 2011
HUBUNGAN
NEGARA DENGAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh : Sarya/ PAI
Hubungan antara Islam dan politik
selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan:
pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki
dua aspek yang selalu kait-mengkait, yakni agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat berdasarkan
Islam, di tempat dan waktu, telah sering terjadi dan mengalami pasang surut.
Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coa
dan belum ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di Indonesia.
Poin kedua dari alasan tersebut yang
sering menimbulkan sikap arogan dari pemerintah. Sebetulnya sikap preventif
terhadap usaha penerapan syariat sebagai landasan hukum tidak hanya pemerintah,
melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah yang kami sebut hubungan agama
dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita tidak setuju jika masalah
agama di bawa ke wilayah Negara. Bagi mereka, agama adalah urusan pribadi
antara dia dengan DIA. Atau mereka ingin menjaga hubungan suci dan sakral ini,
tidak dicampuri urusan dana yang kotor. Apaka sikap mereka bisa digolongkan
liberal? Jawabannya, bisa tetapi dengan catatan kita harus menilai “liberal”
dari kacamata budaya bangsa Indonesia.
Menurut Masdar F. Mas’udi, hubungan
agama dan Indonesia akan masih menjadi masalah. Menurutnya ada anggapan umum
bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga
Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi pemuka bangsa yang
sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui (mengaburkan) batas-batas
keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas seperti
Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.
Pernyataan yang disampaikan beliau
memang bukan tanpa alasan. Kalau kita menilik sejarah ke belakang baik pemimpin
pasca proklamasi maupun orde baru, semua pemimpin bangsa ini tidak begitu
kental keIslamannya. Sebagai paradigma politik memimpin bangsa ini justru lebih
suka mengadopsi pemikiran (nilai-nilai) budaya.
Bahkan di era orde baru sikap
preventif terhadap ormas atau organisasi agama begitu getol. Pemerintah
berusaha mengkerdili umat Islam yang ingin memperjuangkan ajarannya lewat jalur
sturktural. Sejumlah fakta menunjukkan hal tersebut,
misalnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai resmi Islam selalu
dibuat kerdil dengan berbagai cara, kegiatan-kegiatan semi kekerasan dibabat
habis tanpa ampun, misalnya kasus Tanjung Priok, Lampung dan lain-lain. Semua
hal itu dilakukan orde baru terhadap umat Islam karena orde baru sangat trauma
dengan masa lalu di mana politik Islam sangat potensial untuk menggalang massa
dan berbalik menyerang pemerintah sekaligus menjadi oposisi abadi kepada
siapapun yang tengah berkuasa.
Setelah masa reformasi datang yang
ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto pada pertengahan 1998, tepatnya saat
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil
presiden BJ Habibe. Era reformasi disebut-sebut sebagai masa cerah bagi
kehidupan bangsa Indonesia. Demokrasi, katanya, benar-benar tegak, keberadaaan
pers, organisasi politik, ormas tidak lagi dibungkam dan dikerdilkan. Semua
wahana ekspresi diberikan kebebasan sepenuhnya.
Melihat adanya peluang yang terbuka
orma-ormas Islam menggunakan kesempatan yang baik untuk memperjuangkan syari’at
Islam lewat jalur struktural yang selama orde baru terkekang. Usaha-usaha
mereka bisa dilihat bagaimana banyaknya ormas-ormas Islam yang bermunculan
seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin maupun parpol-parpol yang mengusung/
menggunakan simbol Islam. Selain perjuangan melalui ormas dan parpol, jalur
lain yang ditempuh adalah melalui penerapan hukum-hukum Islam melalui
celah-celah otonomi daerah.
Hubungan Islam dan Negara pada Era
Reformasi
Reformasi yang terjadi pada
pertengahan tahun 1998 menyebabkan perubahan drastic dalam berbagai aspek
kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan drastis yang menonjol
dibidang politik pasca orde baru antara lain: hilangnya kekuasaan represif dan
bubarnya sistem bureaucratic polity pemerintah dipegang segelintir orang
berubah menjadi pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat secara riil.
Perubahan birokrasi ternyata
berdampak terhadap kebijakan-kebijakan terhadap semua aspek kehidupan bernegara
termasuk kebijakan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Di saat orde baru
berkuasa, kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat hanya sebatas retorika
belaka. Bahkan pemerintah orde baru cenderung berperilaku sebagai rezim praetorian
yang memiliki banyak kontrol yang mengawasi kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina Negara hingga persoalan personal
semacam keluarga berencana.
Karena begitu ketatnya kontrol
Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu” yang terbukti saat reformasi.
kontrol tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi anak bangsa yang merasa terkekang
sehingga pasca reformasi banyak bermunculan organisasi-organisasi massa (baik
politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga press. Bahkan kata reformasi
berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan individual maupun komunal.
Perubahan tersebut dimanfaatkan oleh
umat Islam untuk memperjuangkan ajaran agamanya agar setidaknya menjadi sumber
hukum formal dalam kehidupan bernegara. Perjuangan ini lebih dikenal dengan
perjuangan jalur strukturalis, yang mana di era orde baru pintu ini tertutup
rapat dan pemerintah hanya membuka pintu kulturalis. Pernyataan selanjutnya
adalah mengapa umat Islam begitu ambisius untuk memasukkan syariat ke dalam
hukum Negara ini?
Dari sudut kuantitas, umat Islam
merupakan mayoritas sehingga sudah sewajarnya jika pemerintah selalu
memperhatikan kepentingan umat Islam dan mengakomodasikan sebanyak mungkin
aspirasi Islam. Dengan kata lain, pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakan programnya harus lebih memihak kepada Islam. Persoalan yang timbul
adalah bagaimana dengan nasib umat minoritas? Keadaan mereka sebenarnya dalam
posisi tidak aman. Mereka belum sepenuhnya percaya pada iktikad baik kelompok
mayoritas yang berjanji akan melindungi eksistensi mereka.
Selain dilihat dari sudut kuantitas
umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat Islam itu sendiri yakni Al-Quran
dan As-Sunah. Agama Islam tidak pernah membedakan persoalan individu dengan
persolan masyarakat, urusan dunia yang profan dan urusan akhirat yang
trasendetal.
Dunia dan akhirat adalah dunia yang
saling menjalin, seperti yang tersirat dalam ajaran Islam bahwa “dunia adalah
ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang sebagai “ladang” sudah barang tentu
keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola sesuai dengan tata krama-Nya. Agar
kelak memberikan bekal yang baik di alam transenden. Kensekuensinya seluruh
aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun individu harus “manut” dengan
aturan tersebut. Dalam bermasyarakat atau berkelompok selalu memiliki
tujuan-tujuan agama dan sekaligus mengabdi pada lestarinya nilai-nilai agama.
Lebih jauh maka seluruh aktivitas muslim selalu diupayakan selaras dengan
nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam, Al-Quran dan As-Sunah.
Semuanya itu perlu
pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu diwujudkan dalam bentuk Negara, mengapa
harus negara? Karena Negara mempunyai kekuasaan sekaligus wilayah yang
membawahi rakyat. Dengan demikian harapan yang muncul adalah masyarakat bisa
taat pada hukum Islam karena sudah ada institusi legal yang bisa menuntut
sangsi bila hukum tersebut tidak dijalankan. Yang perlu digaris bawahi adalah
bagi Islam tujuan bernegara adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama,
keadilan sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam Negara adalah instrument bagi
segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan social.
Yang menjadi pertanyaan adalah
bagimana mengartikulasikan wujud cita-cita tersebut di tengah pluralnya
masyarakat? Untuk menjawab apalagi mengartikulasikan tidaklah mudah, banyak
kendala yang dihadapi di lapangan. Setidaknya ada dua kendala yang menjadi batu
sandungan yakni kendala konsepsional dan kendala praktis. Kendala konsepsional
adalah kendala bagaimana ajaran Islam yang normativ dapat dijabarkan menjadi
separangkat aturan yang berfungsi untuk pelaksanaan di lapangan. Sedangkan
kendala praktis yaitu kendala bagaimana implikasi praktis yang sangat mungkin
timbul pada masyarakat yang plural.
Mohtar Mas’oed menuliskan bahwa
setidaknya ada dua pendekatan sebagai upaya pengartikulasikan Islam dalam
kehidupan masyarakat yaitu pertama, Islamisasi Negara nasional untuk
kepentingan umat Islam dan kedua Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional. Yang dimaksud Islamisasi negara adalah upaya
merealisasikan ajaran dalam Negara. Negara Indonesia di upayakan berdasarkan
Islam. Pandangan ini muncul karena melihat kenyataan kuantitas umat Islam
memang menjadi umat terbanyak dan sudah sewajarnya bila hukum Islam dijadikan
sumber hukum Negara. Alasan logis karena yang akan merasakan adalah umat Islam.
Toh, dalam hukum Islam juga ada hukum-hukum yang mengatur umat non-Islam yang
disebut kaum zimmi. Keberadaan mereka tidak dikesampingkan begitu saja
bahkan ajaran Islam menyuruh umatnya melindungi nyawa dan harta benda mereka.
Kritik bermunculan ketika cara ini
akan ditempuh karena dinilai cara ini terlalu diskriminatif. Mereka mengatakan
kemerdekaan Indonesia tidaklah semata-mata diraih umat Islam. Serta semenjak
dahulu kepulauan nusantara tidak hanya dihuni oleh satu umat melainkan berbagai
jenis umat, kepercayaan. Jadi kalau ada hukum agama yang dijadikan hukum
konstitusional adalah mengingkari kenyataan bahwa negara ini memang plural.
Selain itu mereka mencurigai umat Islam sebagai umat yang hegemonik dan egois
kerena terlalu ambisius mempengaruhi kebijakan pemerintah. Lebih jauh lagi,
umat Islam akan dianggap ekstrim, karena menganggap atau merasa bahwa agamanya
yang paling benar.
Memang jalur struktural atau
Islamisasi Negara nasional sering kali mengalami benturan baik dengan penguasa
maupun dengan pihak umat agama lain. Pendekatan lain untuk mengartikulasikan
Islam adalah Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional, yang dimaksud dengan
pendekatan ini adalah penterjemahan politik Islam secara substansial, yakni
ajaran-ajaran Islam diterjemahkan dalam bahasa- bahasa ekonomi, kemanusiaan,
hak asasi manusia, pemberdayaan masyakat, dan lain-lain. Pendekatan ini
memandang perjuangan Islam tidaklah sempit, yaitu terbatas pada arena politik
dan parlemen, namun lebih luas dari itu, yaitu meliputi kebudayaan, pendidikan
dan lain-lain. Bagi mereka yang menggunakan pendekatan ini yang penting adalah
pesan-pesan pokok Islam dapat terwujud seperti semangat egalitarian, humanitas,
demokrasi, keadilan sosial, dan lain-lain serta tidak mengedepankan wacana
negara Islam.
Pendekatan model ini lebih disukai
oleh tokoh-tokoh Islam dan penguasa. Selain itu, pendekatan ini lebih
mengedepankan sikap saling mejaga keharmonisan antara umat beragama serta
menjaga hubungan Islam dan penguasa yang selama ini selalu terjadi konflik
diantara mereka. Pendekatan ini memang harus dipahami umat Islam sendiri bahwa
pendekatan ini lebih menguntungkan bagi keberlangsungan Negara dan agama.
Syarat ayang harus di miliki adalah bagimana memandang dan memperlakukan Islam
sendiri. Apakah Islam dipandang secara tekstual atau memahami hakikat mengapa Islam
itu diturunkan. Secara hakikat Islam turun sebagai rahmatan lil ‘alamin,
sebagai rahmat bagi alam. Tentu banyak jalan untuk membumikan pada tatanan
kehidupan masyarakat sehingga terwujud masyarakat madani. Semua ini asalah
tinggal umat Islam sendiri memandang Islam, sebatas kulit atau menyeluruh.
Sumber:
Rabu, 26 Oktober 2011
Asas dan Dasar Filosofis Filsafat Ilmu
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Filsaftat ilmu memiliki objek material dan objek formal.
Objek material merupakan ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu ilmu pengetahuan
yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sedangkan, objek formal merupakan
hakikat atau esensi ilmu pengetahuan; problem-problem mendasar ilmu pengetahuan
seperti apa hakikat itu sesungguhnya.
Suatu peristiwa atau kejadian pada dasarnya tidak
pernah lepas dari peristiwa lain yang mendahuluinya. Demikian juga dengan
timbul dan berkembangnya filsafat dan ilmu. Menurut Rinjin (1997 : 9-10),
filsafat dan ilmu timbul dan berkembang karena akal budi, thauma, dan aporia. Manusia merupakan makhluk
yang memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnya saja
kekaguman pada matahari, bumi, dirinya sendiri dan seterusnya. Kekaguman tersebut
kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu
sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia juga berusaha
mengetahui dirinya sendiri, mengenai eksistensi, hakikat, dan tujuan hidupnya.
Ada
tiga hal yang menjadi landasan dan karakteristik filsafat ilmu. Karakteristik
filsafat ilmu antara lain adalah sebagai berikut:
a. Filsafat ilmu merupakan cabang
dari filsafat.
b. Filsafat ilmu berusaha menelaah
ilmu secara filosofis dari sudut pandang ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.
PEMBAHASAN
A.
Asas-asas
Filsafat Ilmu
Yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian
juga ilmu pengetahuan dan agama. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu pengetahuan
adalah kebenaran akal, sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran wahyu.
Meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan akal, hasil
yang diperoleh juga bermacam-macam. Yang terpenting adalah bagaimana agar
aliran yang bermacam-macam dalam filsafat dan ilmu pengetahuan itu tidak saling
bertabrakan satu sama lain, tetapi dapat saling membantu dan bekerja sama.[1]
Antara filsafat dan ilmu memiliki persamaan dalam
hal bahwa keduanya merupakan hasil ciptaan kegiatan fikiran manusia, yaitu
berfikir filosofis, spekulatif, dan empiris ilmiah. Karenanya, filsafat inilah
kemudian disebut sebagai induknya ilmu pengetahuan.[2]
Pernyataan tersebut menjadi asaz sekaligus perbedaan antara filsafat dan ilmu
pengetahuan diantaranya:
a.
Mengenai
lapangan pembahasan. Lapangan ilmu pengetahuan mempunyai daerah-daerah
tertentu, yaitu alam dengan segala kejadiannya. Sedangkan lapangan pembahasan
filsafat adalah tentang hakikat yang umum dan luas.
b.
Mengenai
tujuannya. Tujuan ilmu pengetahuan adalah berusaha menentuka sifat-sifat dari kejadian
alam yang didalamnya juga terdapat manusia. Sedangkan filsafat bertujuan untuk mengetahui
tentang asal-usul manusia, hubungan manusia dan alam semesta dan bagaimana akhirnya
( hari kemudian)
c.
Mengenai cara pembahasannya.
Filsafat dalam pembahasannya tidak mempergunakan percobaan-percobaan serta penyelidikan
panca indera, tetapi pembahasan penyelidikannya menggunakan pikiran dan akal. Sedangkan
ilmu pengetahuan dalam pembahasan dan penyelidikannya menggunakan panca indera dan
percobaan-percobaan.
d.
MKengenai kesimpulan.
Ilmu pengetahuan dalam menentukan kesimpulan-kesimpulannya dapat diterapkan dengan
dalil-dalil yakin yang didasarkan pada penglihatan dan percobaan-percobaan. Sebaliknya
filsafat dalam memberi kesimpulan tidak memberikan keyakinan mutlak, sebagai kesimpulan
selalu mengandung keraguan yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan pendapat diantara
ahli-ahli filsafat, serta jauh dari kepastian, kerja sama dan keyakinan.[3]
Pada dasarnya Filsafat Ilmu merupakan bagian dari
epistemologi (filsafat pengetahuan), yang secara spesifik mengkaji
tentang hakikat-hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Sedangkan ilmu
merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Secara
metodologis, ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam (natural sciences)
dengan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Namun karena
permasalahan-permasalahan tekhnis yang bersifat khas, maka Filsafat Ilmu sering
dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial.
Di zaman
Plato, bahkan sampai masa al Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan
boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi
perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat
praksis, berujung pada loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat.
Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, perkembangan
ilmu pengetahuan yang didukung dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan
perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah lebih sempit
dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah
kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan
bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan
dikembangkan ole manusia. Sebab manusia hari ini mementingkan ilmu yang
sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit “dibumikan”.
B. Landasan (Dasar) Filosofis Filsafat
Ilmu
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk
menentukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang
adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berfikir untuk
menghasilkan pengetahuan yang benar itupun berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa
tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai criteria kebenaran, dan
criteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran
tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran dimana tiap-tiap
jenis penalaran mempunyai criteria kebenaran masing-masing.[4] Filsafat
ilmu dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu :
1. Aksiologi
Adalah
bidang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai. Secara aksiologis ilmu
harus digunakan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf
hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan
keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan
dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
2. Epistimologi
Adalah
bidang filsafat yang mempelajari bagaimana cara manusia mengetahui sesuatu
“ada” tersebut.
3. Ontologi
Adalah
bidang filsafat yang mempelajari segala sesuatu, baik yang tampak secara fisik
(fenomena)atau sesuatu yang berada dibalik realitas. Secara ontologis dalam
pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis /
objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah
kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri
masalah kehidupan.
C. Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu
Diantara manfaat
–manfaat yang diperoleh dalam mempelajari Filsafat Ilmu adalah:
1.
Dengan mempelajari filsafat ilmu
diharapkan mahasiswa semakin kritis dalam sikap ilmiahnya. Mahasiswa sebagai
insan kampus diharapkan untuk bersikap kritis terhadap berbagai macam teori.
yang dipelajarinya di ruang kuliah maupun dari sumber-sumber lainnya.
2.
Mempelajari filsafat ilmu mendatangkan
kegunaan bagi parama hasiswa sebagai calon ilmuwan untuk mendalami metode
ilmiah dan untuk melakukan penelitian ilmiah. Dengan mempelajari filsafat ilmu
diharapkan mereka memiliki pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu
menggunakan pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan
penelitian ilmiah.
3.
Mempelajari filsafat ilmu memiliki manfaat
praktis. Setelah mahasiswa lulus dan bekerja mereka pasti berhadapan dengan
berbagai masalah dalam pekerjaannya. Untuk memecahkan masalah diperlukan
kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis berbagai hal yang berhubungan
dengan masalah yang dihadapi. Dalam konteks inilah pengalaman mempelajari
filsafat ilmu diterapkan.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan makalah diatas, dapat kami simpulkan bahwa:
a. Ada
beberapa aliran filsafat, masing-masing dengan dasar pemikiran tersendiri.,
diantaranya: Aliran Perenialisme, Aliran Idealisme, Filsafat Realisme, Aliran
Pragmatisme, dan Aliran Eksistensialisme.
b. Aksiologi
adalah bidang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai. Epistimologi
adalah bidang filsafat yang mempelajari bagaimana cara manusia mengetahui
sesuatu “ada” tersebut. Ontologi adalah bidang filsafat yang mempelajari segala
sesuatu, baik yang tampak secara fisik (fenomena)atau sesuatu yang berada
dibalik realitas.
Daftar
Referensi
Jujun S, Suriasumantri,
Filsafat Ilmu sebuah pengantar popular,
(Jakarta, Pustaka Sinar Harapan), 1998.
Soetrisno, dkk, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta; CV. Andi
Offset, 2007)
Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan
Aksiologis, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), Cet ke-I
[1] Soetrisno, dkk, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,
(Yogyakarta; CV. Andi Offset, 2007),
hlm. 23
[2] Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi
Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011),
Cet ke-I, hlm. 127
[3]
Susanto, A.
Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi
Ontologis….., hlm 128
[4] Jujun S,
Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah
pengantar popular, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan), 1998. H. 43
Makalah_Perencanaan & Strategi Pembelajaran
PERBEDAAN
STRATEGI, METODE, PENDEKATAN, TEKNIK DAN TAKTIK PEMBELAJARAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Belajar
adalah suatu proses perubahan yang relatif permanen pada pengetahuan,
kemampuan, keterampilan, dan tingkah laku, yang terjadi sebagai hasil dari
usaha yang disengaja dan pengalaman yang terkontrol dan tidak terkontrol.
Dalam Undang-Undang N0. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional,
istilah belajar tidak ditemukan. Istilah yang digunakan adalah pembelajaran.
Pembelajaran didefinisikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Dalam
proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna,
sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah
tersebut adalah, pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode
pembelajaran, teknik pembelajaran, dan taktik pembelajaran.
Untuk
dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru dituntut dapat
memahami dan memliki keterampilan yang memadai dalam mengembangkan berbagai
model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan, sebagaimana
diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Mencermati upaya
reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para guru atau
calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran,
yang kadang-kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun
penelitian tindakan) sangat sulit menermukan sumber-sumber literarturnya.
Namun, jika para guru (calon guru) telah dapat memahami konsep atau teori dasar
pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta konsep dan teori) pembelajaran,
maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan
model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat
kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model
pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya
khazanah model pembelajaran yang telah ada.
PERBEDAAN STRATEGI, METODE,
PENDEKATAN, TEKNIK DAN TAKTIK PEMBELAJARAN
PEMBAHASAN
A.
Definisi Strategi, Metode, Pendekatan, Teknik
dan Taktik Pembelajaran
Pada mulanya istilah strategi digunakan dalam dunia militer
yang diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk
memenangkan suatu peperangan. Demikian pula seorang pelatih sepak bola, ia akan
menentukan strategi yang dianggapnya tepat untuk memenangkan suatu pertandingan
setelah ia memahami segala potensi yang dimiliki timnya. Apakah ia akan
melakukan strategi menyerang dengan pola 2-3-5 misalnya, atau strategi bertahan
dengan pola 5-3-2, semuanya sangat tergantung kepada kondisi tim yang dimilikinya
serta kekuatan tim lawan. Dari dua ilustrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa
strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai
tujuan.[1]
Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves
a particular educational goal (J.R. David, 1976). Jadi dengan demikian
strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang
rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[2]
Dalam konteks pembelajaran berdasarkan KBK, strategi dapat dikatakan sebagai
pola umum yang berisi tentang rentetan kegiatan yang dapat dijadikan sebagai
pedoman (petunjuk umum) agar kompetesi sebagai tujuan pembelajaran dapat
tercapai secara optimal. Pola atau cara yang ditetapkan sebagai hasil dari
kajian strategi itu dalam proses pembelajaran dinamakan dengan metode
pembelajaran. Jadi dengan demikian metode pada dasarnya berangkat dari suatu
strategi tertentu.[3]
Selanjutnya,
dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa
dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa
strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan
yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Strategi pembelajaran
sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai
metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain
strategi
merupakan “a plan of operation achieving something”
sedangkan metode adalah “a way in achieving something” (Wina
Senjaya (2008).[4]
Adapun metode
pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan
untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan
nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode
pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi
pembelajaran, diantaranya:
1.
Metode ceramah adalah metode yang lebih banyak
dilakukan oleh guru sementara anak didiknya bersifat pasif;
2.
Metode demonstrasi adalah suatu metode yang
menggunakan atau memperlihatkan suatu proses, mekanisme, atau cara kerja suatu
alat dengan bahan pelajaran
3.
Metode diskusi adalah metode yang bertujuan
untuk memecahkan atau menemukan solusi masalah yang ditemukan dalam mempelajari
materi pembelajaran.
4.
Metode tanya jawab adalah suatu cara penyajian
bahan pelajaran melalui bentuk pertanyaan yang perlu dijawab oleh anak didik.
5.
Metode eksperimen adalah metode yang memberikan
kesempatan kepada anak didik baik perorangan ataupun perkelompok untuk
melakukan suatu percobaan di laboratorium atau lapangan guna membuktikan suatu
teori atau menemukan sendiri suatu pengetahuan baru bagi anak didik.
6.
Metode pemberian tugas (resitasi) adalah metode
yang menugaskan kepada anak didik untuk mengerjakan sesuatu dengan tujuan
memantapkan, mendalami dan memperkarya materi yang sudah dipelajari.
Kemudian
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai
titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk
pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum,
di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode
pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya,
pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran
yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach)
dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered
approach).
Dari pendekatan pembelajaran
yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran.
Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur
strategi dari setiap usaha, yaitu :
1.
Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan
kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan
mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.
2.
Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan
utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran.
3.
Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah
(steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran.
4.
Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur
(criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf
keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran,
keempat unsur tersebut adalah:
1.
Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan
pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik.
2.
Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan
pembelajaran yang dipandang paling efektif.
3.
Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah
atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran.
4.
Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran
keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.
Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke
dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang
dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik.
Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif
banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda
dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas.
Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang
berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya
tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun
dalam koridor metode yang sama.
Sementara taktik
pembelajaran merupakan
gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang
sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama menggunakan metode
ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya.
Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena
memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi
kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu
elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya
pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai
dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan.
Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga seni
(kiat)
Apabila antara pendekatan, strategi, metode,
teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan
yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi,
model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan
secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus
atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.[5]
B.
Penentuan
Metode Sesuai Dengan Pertimbangan
Pembelajaran pada dasarnya adalah proses
penambahan informasi dan kemampuan baru. Ketika kita berfikir informasi dan
kemampuan apa yang harus dimiliki oleh siswa, maka pada saat itu juga kita
semestinya berfikir strategi apa yang harus dilakukan agar semua itu dapat
tercapai secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, sebelum menentukan
strategi pembelajaran yang dapat digunakan, ada beberapa pertimbangan yang
harus dilakukan:
1. Pertimbangan
yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Pertanyaan-pertanyaan yang
dapat diajukan adalah:
a. Apakah
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berkenaan dengan aspek kognitif,
afektif, atau psikomotorik?
b. Bagaimana
kompleksitas tunuan pembelajaran yang ingin dicapai, apakah tingkat tinggi atau
rendah
c. Apakah
untuk mencapai tujuan itu memerlukan keterampilan akademis?
2.
Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau
materi pembelajaran:
a. Apakah
materi pelajaran itu berupa fakta, konsep, hokum, atau teori tertentu?
b. Apakah
untuk mempelajari materi pembelajaran itu memerlukan prasyarat tertentu atau
tidak?
c. Apakah
tersedia buku-buku sumber untuk mempelajari materi itu?
3.
Pertimbangan dari sudut siswa:
a. Apakah
strategi pembelajaran sesuai dengan tingkat kematangan siswa?
b. Apakah
strategi pembelajaran itu sesuai dengan minat, bakat dan kondisi siswa?
c. Apakah
strategi pembelajaran itu sesuai dengan gaya belajar siswa?
4.
Pertimbangan-pertimbangan lainnya:
a. Apakah
untuk mencapai tujuan hanya cukup dengan satu strategi saja?
b. Apakah
strategi yang kita terapkan satu-satunya strategi yang dapat digunakan?
c. Apakah
strategi itu memiliki nilai efektivitas dan efisiensi?
Pertanyaan-pertanyaan
diatas, merupakan bahan pertimbangan dalam menetapkan strategi yang ingin
diterapkan.[6]
C. Hal-hal
yang Berkaitan Dengan Pertimbangan Pemilihan Strategi Pembelajaran
Dalam memilih media untuk keperluan
pembelajaran, guru perlu mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu variabel
tugas, variabel siswa, lingkungan belajar, lingkungan pengembangan, ekonomi dan
budaya, serta faktor-faktor praktis. Pertimbangan yang lebih singkat dalam
pemilihan media adalah tujuan pembelajaran, siswa/mahasiswa, ketersediaan,
ketepatgunaan, biaya, dan mutu teknis. Untuk mengembangkan media grafis, sebaiknya
memperhatikan prinsip-prinsip umum, yaitu kesederhanaan, kesatuan, penekanan,
dan keseimbangan formal maupun informal. Alat-alat visual yang dapat membantu
keberhasilan penggunaan prinsip-prinsip tersebut adalah garis, bentuk, ruang,
tekstur, dan warna. Apabila Anda memiliki beberapa gambar, bentuk-bentuk,
kata-kata atau simbol-simbol lain yang akan dipajang dalam suatu papan,
misalnya Anda perlu menyusunnya terlebih dahulu dalam suatu layout (tata letak)
agar susunan yang Anda ciptakan tampak harmonis.
Agar penggunaan media dalam pembelajaran
berhasil dengan baik, diperlukan langkah umum, seperti persiapan, pelaksanaan,
evaluasi, dan tindak lanjut. Molenda, dkk., mengemukakan suatu model penggunaan
media yang dinamakan model ASSURE, yang merupakan akronim dari kata-kata dalam
bahasa Inggris yang, artinya analisis karakteristik siswa, menentukan tujuan,
memilih materi, memanfaatkan materi, menuntut respons siswa, dan mengevaluasi
hasil belajar.
KESIMPULAN
Dari penjelasan makalah diatas,
dapat kami simpulkan bahwa:
a.
Dalam dunia pendidikan, ada beberapa istilah
yang harus diketahui. Istilah-istilah tersebut adalah, pendekatan pembelajaran,
strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik pembelajaran, dan taktik
pembelajaran
b.
Strategi
pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian
kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
c.
Adapun metode pembelajaran
dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana
yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
d.
Ada beberapa metode pembelajaran yang dapat
digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya adalah:
metode ceramah, metode demonstrasi, metode diskusi, metode tanya
jawab, metode pemberian tugas, metode eksperimen
e.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai
titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk
pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum,
di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode
pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
f.
Metode
pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan
seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik.
g.
Taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan
metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual.
Daftar
Referensi
Wina sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006)
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi, (Jakarta: kencana, 2008)
[1] Wina sanjaya,
Strategi Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),
cet ke-5. Hal 126
[2]
Wina sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,….. hlm. 126
[3] Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi, (Jakarta: kencana, 2008), cet ke- III, hlm. 99
Langganan:
Postingan (Atom)