Sabtu, 30 April 2011

Organisasi dan Kepemimpinan dalam Administrasi Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang Masalah

Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke Bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi. Sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat”;  “Sesungguhnya Aku akan mengangkat Adam menjadi Khalifah di muka Bumi”.
        Menurut Bachtiar Surin yang dikutif oleh Maman Ukas bahwa “Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang diserahi untuk menyampaikan atau memimpin sesuatu”.[1]
        Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniai sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta komplek persoalannya. Atas dasar kesadaran itulah dan relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.
Pada dasarnya, fungsi pengorganisasi berkenaan dengan upaya mengembangkan mata rantai hubungan-hubungan kerja (formal) dan pembagian di dalam organisasi atau lembaga. Untuk mencapai maksud ini pengorganisasian melibatkan usaha identifikasi tugas-tugas tersebut yang akan dilaksanakan, mengelompokkan tugas-tugas sehingga merupakan satuan-satuan, dan menetapkan wewenang yang diperlukan.
Secara umum dapat dikatakan, melalui pengorganisasian dicoba mempertemukan pekerja tertentu dengan pekerjaan dan fasilitas kerja yang spesifik. Di lingkungan sekolah, umpamanya, setiap guru mendapat tugas yang jelas serta wewenang yang sepadan. Dia harus mengetahui fasilitas belajar-mengajar yang perlu dan dapat digunakannya. Dalam pencapaian tujuan organisasi, manajemen merupakan sarana yang paling utama, sebab manajemen pada hakikatnya adalah serangkai kegiatan yang dilaksanakan para manajer/pemimpin untuk mengerahkan, menggerakkan, dan mengarahkan segala sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif.
Anonim (2000: 1) mengemukakan bahwa tanpa organisasi tak ada manajemen dan sebaliknya tanpa manajemen tak ada organisiasi. Manajemen merupakan organ spesifik dari organisasi modern. Manajemen adalah organisasi kerja tempat bergantung prestasi dan keberhasilan serta kelangsungan hidup organisasi. Organisasi berkembang sejalan dengan perubahan ilmu dan teknologi yang semakin canggih disertai tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi.
Menurut Wahjosumidjo (1994:32) bahwa ada tiga gejala penting yang dimiliki oleh setiap organisasi yaitu :
(1)  setiap organisasi harus mempunyai tujuan,
(2)  untuk mencapai tujuan tersebut harus ada program,
(3) setiap organisasi harus memiliki pemimpin atau manajer yang bertanggung jawab  terhadap organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan ketiga unsur pokok yang menandai setiap kehidupan organisasi, membarikan kesimpulan betapa pentingnya peranan manajemen di dalam eksistensi suatu organisasi dan betapa besar peranan pemimpin atau manajer dalam mengembah tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.[2]









BAB II
ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN DALAM
ADMINISTRASI PENDIDIKAN

a.      Devinisi Organisasi
Istilah organisasi bukanlah hal yang asing lagi bagi kita, karena dari pertama kita menimba ilmu pada tingkat pertama, kita sudah dikenalkan dengan salah satu organisasi kesiswaan seperti OSIS. Dalam kehidupan bermasyarakat pun sering kita jumpai yang namanya organisasi, baik organisasi kepemudaan dan bahkan sampai organisasi kepemerintahan.
Organisasi berasal dari kata organon dalam bahasa Yunani yang berarti alat. Pengertian organisasi telah banyak disampaikan para ahli, tetapi pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip, dan sebagai bahan perbandingan akan disampaikan beberapa pendapat sebagai berikut :
a.       Chester I. Barnard (1938) dalam bukunya “The Executive Functions” mengemukakan bahwa : “ Organisasi adalah system kerjasama antara dua orang atau lebih” (I define organization as a system of cooperatives of two more persons)
b.       James D. Mooney mengatakan bahwa : “Organization is the form of every human association for the attainment of common purpose” (Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan bersama)
c.       Menurut Dimock, organisasi adalah : “Organization is the systematic bringing together of interdependent part to form a unified whole through which authority, coordination and control may be exercised to achive a given purpose” (organisasi adalah perpaduan secara sistematis daripada bagian-bagian yang saling ketergantungan/berkaitan untuk membentuk suatu kesatuan yang bulat melalui kewenangan, koordinasi dan pengawasan dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditentukan).
Dari beberapa pengertian organisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap organisasi harus memiliki tiga unsur dasar[3], yaitu :
a.       Orang-orang (sekumpulan orang),
b.      Kerjasama,
c.       Tujuan yang ingin dicapai,
Dengan demikian organisasi merupakan sarana untuk melakukan kerjasama antara orang-orang dalam rangka mencapai tujuan bersama, dengan mendayagunakan sumber daya yang dimiliki.

b.      Hubungan Organisasi dengan Administrasi Pendidikan
Organisasi pada dasarnya  adalah sekumpulan manusia yang mempunyai minat dan kepentingan yang sama. Karena mempunyai minat dan kepentingan yang sama, akhirnya manusia membentuk sebuah kelompok.
Didalam Organisasi, manusia bekerja sama untuk mewujudkan kepentingan. Kepentingan yang ada merupakan sesuatu yang ingin di wujudkan. Karena itu kepentingan yang ada kemudian melahirkan tujuan. Kerja sama didalam kelompok yang terikat secara formal disebut organisasi sedangkan seluruh proses kerja sama disebut administrasi. Lebih jelas lagi Administrasi adalah keseluruhan proses kerja sama antar manusia dengan didasari pertimbangan rasional dan moral, untuk mencapai tuijuan bersama. Karena itu kegiatan administrasi terjadi didalam organisasi.

Gambar : Hubungan antara organisasi dan administrasi,
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjE799-8O7Nc4UNXXfQrjZ-cTp05hm4TqvpgF-t0I-mm1Av-ohyphenhyphenWK6zKHU6BmtKty4YFB4fg0R_b3eaYqjJyxt6vGpbN5sVsQQXl5T-P3pBLtKfDKnOG8yZHbHtIQB7Og_6NKQqF3XRM1lm/s1600/administrasi.png










Gambar diatas menunjukkan bagaimana hubungan antara organisasi, dengan administrasi dalam suatu pendidikan.Organisasi sebagai kelompok orang yang mengikatkan diri secara formal adalah wadah yang menampung kelompok manusia. Didalam kelompok, manusia melakukan administrasi dalam bentuk kerja sama. Dan di dalam administrasi terjadi proses pengaturan. Proses pengaturan inilah disebut dengan manajemen. Manajemen yang ada didalam organisasi biasanya bertingkat dari yang terdepan sampai yanag tertinggi.
Jika disekolah adalah sebuah organisasi, maka didalam sekolah terjadi kegiatan kerja sama administrasi untuk mencapai tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan, kerja sama yang ada harus diatur sehingga semua sumber daya pendidikan bersifat harmonis, dan sinergis. Untuk itu dilakukan kegiatan pengaturan manajemen. Kepala sekolah sebagai manajer tertinggi bertugas menentukan strategi dalam mencapai tujuan pendidikan. Strategi yang ada diterjemahkan menjadi program kerja oleh semua wakil kepala sekolah sebagai manajer madya. Pelaksanaan program kerja dilakukan oleh guru dan segenap pegawai tata usaha dengan pengawasan guru senior yang ditunjuk sebagai pengawas pelaksanaan. Dengan demikian tercipta sebuah sistem organisasi yang terus bergerak mencapai tujuan. Demikianlah hubungan antara organisasi, administrasi, dan manajemen.

c.       Hakikat dan Devinisi Pemimpin
Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan.[4]
Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Pada tahap pemberian tugas pemimpin harus memberikan suara arahan dan bimbingan yang jelas, agar bawahan dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan mudah dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Defenisi kepemimpinan yang telah diungkapkan oleh banyak ahli diantaranya : Ordway Tead (dalam Sutarto, 1986: 12) beranggapan bahwa kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja sama untuk mencapai beberapa tujuan yang mereka inginkan. Selanjutnya Stogdill (dalam Sutarto, 1986: 13) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok oang yang terorganisir dalam usaha mereka menetapkan tujuan dan mencapai tujuan. Oleh karena itu kegiatan si pemimpin adalah mengarahkan tingkah laku orang lain ke suatu tujuan tertentu. Selanjutnya Keating (1986: 9) melihat kepemimpinan itu adalah proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau kelompok orang untuk mencapai suatu tujuan bersama.
  Dengan demikian kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggotanya. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan anggota dan juga dapat memberikan pengaruh, dengan kata lain para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, tetapi juga dapat mempengnaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Sehingga terjalin suatu hubungan sosial yang saling berinteraksi antara pemimpin dengan bawahan, yang akhirnya tejadi suatu hubungan timbal balik. Oleh sebab itu bahwa pemimpin diharapakan memiliki kemampuan dalam menjalankan kepemimpinannya, kareana apabila tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan dapat tercapai secara maksimal.

d.      Tipe-Tipe Kepemimpinan
 Dalam setiap realitasnya bahwa pemimpin dalam melaksanakan proses kepemimpinannya terjadi adanya suatu permbedaan antara pemimpin yang satu dengan yang lainnya, hal sebagaimana menurut G. R. Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa pendapatnya membagi tipe-tipe kepemimpinan menjadi 6, yaitu :
1.      Tipe kepemimpinan pribadi (personal leadership). Dalam system kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan dengan mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.
2.      Tipe kepemimpinan non pribadi (non personal leadership). Segala sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.
3.      TIpe kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership). Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.
4.      Tipe kepemimpinan demokratis (democratis leadership). Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usahan pencapaian tujuan.
5.      Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership). Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.
6.      Tipe kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership). Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan adanya system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikur berkecimpung.[5]

e.       Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pemimpin Dalam Manajemen Pendidikan
               Dalam melaksanakan aktivitasnya bahwa pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dikemukakan oleh H. Jodeph Reitz (1981) yang dikutif Nanang Fattah, sebagai berikut :
1.      Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan.
2.       Harapan dan perilaku atasan.
3.      Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap apa gaya kepemimpinan.
4.      Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.
5.       Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan.
6.       Harapan dan perilaku rekan.[6]
               Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kesuksesan pemimpin dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh factor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi diri untuk berprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan sikap-sikap hubungan manusiawi.
f.       Teori Kepemimpinan
Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membuktikan kepemimpinan. Jadi harus ada pemimpin demi sukses dan efisiensi kerja. Untuk bermacam-macam usaha dan kegiatan manusia yang jutaan banyaknya ini diperlukan upaya yang terencana dan sistematis untuk melatih dan mempersiapkan pemimpin-pemimpin baru. Oleh karena itu banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan. Dan para sarjana telah memberikan berbagai defenisi mengenai pemimpin dan kepemimpinan, dengan menonjolkan satu atau beberapa aspek tertentu sesuai dengan ide pencetus definisi tersebut, beserta interpretasinya.
Banyak sekali studi ilmiah yang telah dilakukan oleh teoritikus mengenai kepemimpinan, dan hasilnya berupa teori-teori tentang kepemimpinan yang mempunyai penekanan pada sisi lain yang berbeda. Dan para penganutnya berkeyakinan bahwa teori itulah yang paling benar dan paling tepat.
Menurut Terry dikemukakan bahwa teori-teori kepemimpinan terdiri dari : (1) teori otokratis (2) teori psikologis (3) teori sosiologi (4) teori suportif (5) teori laissez faire (6) teori kelakuan pribadi (7) teori situasi dan (8) teori humanistik/ populistik.
Dari pendapat tersebut di atas maka dapat dijelaskan teori-teori kepemimpinan yang dimaksud dengan uraian sebagai berikut :
(1)   Teori Otokratis
Kepemimpinan menurut teori ini berdasarkan atas perintah-perintah, paksaan dan tindakan-tindakan yang arbitrer (sebagai wasit). Ia melakukan pengawasan yang ketat, agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien. Kepemimpinannya berorientasikan pada struktur organisasi dan tugas-tugas.
Pemimpin tersebut pada dasarnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal dan berambisi untuk merajai situasi. Pemimpin yang masuk ke dalam teori ini selalu memberikan perintah-perintah yang dipaksakan dan harus dipatuhi, menentukan kebijakan untuk semua pihak tanpa berkonsultasi dengan para anggota, dan tidak memberikan informasi secara detail mengenai rencana yang akan datang.
(2)   Teori Psikologis
Teori ini menyatakan, bahwa fungsi seorang pemimpin adalah memunculkan dan mengembangkan sistem motivasi tterbaik, untuk merangsang kesediaan bekerja dari para pengikut dan anak buah. Pemimpin merangsang bawahan, agar mereka mau bekerja, guna mencapai sasaran-sasaran organisatoris maupun untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadi.
Teori ini lebih mengedepankan aspek-aspek psikologis manusia, seperti : pengakuan, martabat, status sosial, kepastian emosional, memperhatikan keinginan dan kebutuhan pegawai, kegairahan kerja, minat, suasana hati dan lain-lain.
(3)   Teori Sosiologis
Kepemimpinan dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan antar-relasi dalam organisasi, dan sebagai usaha untuk menyelesaikan setiap konflik organisatoris antara para pengikutnya, agar tercapai kerjasama yang baik. Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan dengan menyertakan para pengikut dalam pengambilan keputusan terakhir.
Setiap anggota mengetahui hasil apa, keyakinan apa, dan kelakuan apa yang diharapkan kepada mereka oleh pemimpin dan kelompoknya. Pemimpin diharapkan dapat mengambil tindakan-tindakan korektif apabila terdapat kepincangan-kepincangan dan penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi.
(4)   Teori Suportif
Menurut teori ini, para pengikut harus berusaha sekuat mungkin, dan bekerja dengan penuh gairah. Sedangkan pemimpin akan membimbing dengan sebaik-baiknya melalui kebijakan tertentu. Untuk maksud ini, pemimpin perlu menciptakan suatu lingkungan kerja yang menyenangkan, dan bisa membantu mempertebal keinginan setiap pengikutnya untuk melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin, sanggup bekerjasama dengan pihak lain, mau mengembangkan bakat dan keterampilannya dan menyadari benar keinginan sendiri untuk maju.
Ada pihak yang menanamkan teori suportif ini sebagai teori partisipatif, dan ada pula yang menanamkannya sebagai teori kepemimpinan demokratis.
(5)   Teori Laissez Faire
Kepemimpinan laissez faire ditampilkan oleh seorang tokoh yang sebenarnya tidak becus mengurus, dan dia menyerahkan semua tanggung jawab serta pekerjaan kepada bawahan atau kepada semua anggotanya. Dan dia sebagai ketua yang bertindak sebagai simbol, dengan macam-macam hiasan atau ornamen yang mentereng. Biasanya dia tidak memiliki keterampilan teknis, sedangkan kedudukan sebagai pemimpin dimungkinkan oleh sistem nepotisme, atau lewat praktek penyuapan.
Pendeknya, pemimpin laissez faire itu pada intinya bukanlah seorang pemimpin dalam pengertian yang sebenarnya. Semua anggota yang dipimpinnya bersikap santai-santai dan bermotto “lebih baik tidak usah bekerja”. Mereka menunjukkan sikap acuh tak acuh. Sehingga kelompok tersebut praktis menjadi tidak terbimbing dan tidak terkontrol.
(6)   Teori Kepemimpinan Pribadi
Kepemimpinan jenis ini akan muncul berdasarkan kualitas-kualitas pribadi atau pola-pola kelakuan para pemimpinnya. Teori ini menyatakan, bahwa seorang pemimpin itu selalu berkelakuan kurang lebih sama, yaitu ia tidak pernah melakukan tindakan-tindakan yang identik sama dalam setiap situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, dia harus mampu bersikap fleksibel, luwes, bijaksana, dan mempunyai daya lenting yang tinggi, karena dia harus mampu mengambil langkah-langkah yang paling tepat untuk suatu masalah. Sedang masalah sosial itu tidak akan pernah identik dalam waktu yang berbeda.
(7)   Teori Situasi
Teori ini menjelaskan, bahwa harus terdapat daya lenting yang tinggi/ fleksibilitas pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi, lingkungan sekitar dan zamannya. Teori situasi ini lebih menitikberatkan pada dinamika interaksi antara pemimpin dengan bawahan melalui interaksi, untuk menjaring dan memenuhi harapan dan keinginan bawahan secara mendasar. Sebab bawahan itu adalah subyek yang memiliki keinginan, perasaan dan harapan yang harus diperhatikan oleh pemimpin.
(8)   Teori Humanistik/ Populistik
Fungsi kepemimpinan menurut teori ini adalah merealisir kebebasan manusia dan memenuhi segenap kebutuhan insani, yang dicapai melalui interaksi pemimpin dengan bawahan. Untuk melakukan hal ini perlu adanya organisasi yang baik dan pemimpin yang baik, yang mau memperhatikan kepentingan dan kebutuhan bawahan.
Fokus dari teori ini adalah bawahan dengan segenap harapan dan kebutuhan harus diperhatikan, dan pemerintah mau mendengar suara hati nurani rakyat, agar tercapai organisasi yang makmur, adil dan sejahtera bagi setiap warga negara dan individu.
















BAB III
PENUTUP
a.      Kesimpulan
Dari pembahasan makalah yang kami sajikan diatas, dapat disimpulkan beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut:
1.      Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.
2.      Organisasi berasal dari kata organon dalam bahasa Yunani yang berarti alat.
3.      Pokok-pokok dari hal-hal yang berkaitan dengan keorganisasian adalah: Orang-orang (sekumpulan orang), kerjasama, tujuan yang ingin dicapai.
4.      Ada banyak teori yang diusung oleh Terry dalam kepemimpinan, terdiri dari : (1) teori otokratis (2) teori psikologis (3) teori sosiologi (4) teori suportif (5) teori laissez faire (6) teori kelakuan pribadi (7) teori situasi dan (8) teori humanistik/ populistik.















Daftra Referensi

Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999)
SEA – NURS – 429, 1N O OSD 001/1.2. Pelatihan Keterampilan Manajerial SPMK – Januari 2003
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996)








    
 



[1] Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999) h. 253.
[2] http://www.masbied.com/2009/10/30/konsep-kepemimpinan/#more-217.
[3] SEA – NURS – 429, 1N O OSD 001/1.2. Pelatihan Keterampilan Manajerial SPMK – Januari 2003

[4] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996) h. 88.
[5] Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999). Hal. 261-262.
[6] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996). h. 102

Jumat, 29 April 2011

Sumber Hukum Kewarisan Islam

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

 

Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Sedemikian pentingnya kedudukan hukum waris Islam dalam hukum Islam dapat disimpulkan dari hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Addaraquthni yang menyatakan Pelajarilah faraidl (hukum waris) dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena faraidl adalah separoh ilmu dan mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari umatku.

Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan system dan bentuk hukum yang berlakudalam masyarakat itu. Hal ini disebabkan hokum kewarisan ini sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh hukum kewarisan islam. Jadi kewarisan itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban  seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hokum lainnya.[1]

Hukum kewarisan yang merupakan salah satu bagian dari system kekeluargaan berpokok pangkal pada pada system menarik garis keturunan, pada pokoknya dikenal tiga macam system keturunan.[2]

 

PEMBAHASAN
SUMBER – SUMBER HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Hukum Kewarisan Islam
Hukum Kewarisan, atau disebut pula hukum faraidl (bahasa Arab) merupakan bagian dari Hukum Kekeluargaan. Di antara ilmu hukum, hukum faraidl merupakan ilmu pertama yang akan keras punah dari permukaan bumi. Hal ini dikarenakan sedikit orang yang bersedia untuk mempelajari hukum faraidl tersebut.
Islam telah membawa perubahan terhadap pengaturan kaidah hukum yang mengatur pemindahan benar dan pembagian harta peninggalan (tirkah) pewaris berdasarkan hubungan kekerabatan bilateral. Karena itu tidak berkelebihan bukan bila Hukum Kewarisan ini dianggap sebagai ilmu yang maha penting dalam Hukum Islam. Perinsip pokok hukum kewarisan adalah hubungan darah, kemudian diperincikan.[3]
Kewarisan islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut :
  1. Dalil- dalil yang bersumber dari al-qur’an
  2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-sunnah, dan
  3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma dan ijtihad para ulama.[4]
Dengan demikian, sumber hukum islam tentang waris ialah asal hukum islam tentang waris.[5] Adapun perbedaan ketiga dalil tentang dasar-dasar hukum ilmu mawaris tersebut diatas itu akan pemakalah bahas masing-masing subnya.

A.1. Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam Al-qur’an
Dasar hukum bagi kewarisan adalah nash atau apa yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah. Ayat-ayat Qur’an yang mengatur secara langsung kewarisan diantaranya adalah :
a. QS An Nisa’ : 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. ( QS An Nisa’ : 7 )
            Garis hukum kewarisan pada ayat diatas ( QS. An Nisa’ : 7 ) adalah sebagai berikut :
  1. Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
  2. bagi aqrobuun ( keluarga dekat ) laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrobuun ( keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)-nya.
  3. bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
  4. bagi aqrobuun ( keluarga dekat ) perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrobuun ( keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)-nya.
5.      ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang banyak.          Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh tuhan.[6]          
            Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ayat ke-7 an-Nisa ini masih bersifat universal, walaupun dialah ayat yang pertama yang menyebut – nyebut adanya harta peninggalan. Harta peninggalan disebut dalam ayat ini dengan sebutan maa taraka. Sesuai dengan system ilmu hukum pada umumnya, dimana ditemui perincian nantinya, maka perincian yang khusus itulah yang mudah memperlakukannya dan yang akan diperlakukan dalam kasus-kasus yang akan diselesaikan.[7]                              Masih banyak ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan tentang dasar-dasar hukum kewarisan dalam islam, namun pemakalah hanya merumuskan satu ayat yang lebih universal, yang sering dipakai untuk rujukan atau dalil kewarisan dalam islam.                               
b. QS An Nisa’ : 9
وَلْيَخْشَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar
B.1  Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam Al- hadits
Dasar hukum kewarisan yang kedua, yaitu dasar hukum yang terdapat dalam hadits nabi Muhammad SAW. Dari sekian banyak hadits nabi yang menjadi landasan hokum kewarisan islam, pemakalah hanya mencantumkan beberapa dari hadits nabi, diantaranya sebagai berikut :
عن إبن عباس رض الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم : ألحقوا الفراءض بأهلها فما بقيا فهو لأولى رجل ذكر
Artinya : Dari Ibnu Abbas R.A dari Nabi SAW berkata : “Berikanlah faraid ( bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang dekat.”
Dalam hadits lain Rosulullah SAW bersabda :
عن عمران بن حصين أن رجلا أتى النبى صلى الله عليه و سلم فقال : أن ابن ابنى مات فمالى من ميراثه فقال لك السدس
Artinya : Dari ‘Umran bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata : “bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari warisannya.”Nabi menjawab :”Kamu mendapat seperenam.”
Meskipun Al-Quran menyebutkan secara terperinci ketentuan-­ketentuan bagian ahli waris, Sunnah Rasul menyebutkan pula hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Quran, antara lain :
1.  Hadits riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa harta warisan, setelah diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu.
2.  Hadits riwayat Al-Jamaah, kecuali Muslim dan Nasai, mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak waris atas harta orang kafir, dan orang kafir tidak berhak atas harta orang muslim.
3.  Hadits riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi memberikan bagian warisan kepada dua nenek perempuan 1/6 harta warisan dibagi dua.
4.  Hadits riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak waris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan kelahiran.

C.1 Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam Ijtihad Ulama

Ijtihad ialah menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu al-qur’an dan hadits kemudian menarik garis hukum daripadanya dalam suatu masalah tertentu, misalnya berijtihad dari qur’an kemudian mengalirkan garis-garis hukum kewarisan islam daripadanya.[8]
Dalam definisi lainnya, ijtihad yitu pemikiran para sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian harta warisan. Yang dimaksud disini ijtihad dalam menerapkan hukum , bukan untuk mengubah pamahaman atau ketentuan yang ada.


Meskipun Al-Qur’an dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama­-sama dengan ayah dan duda atau janda.

B.  Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
a.  Prinsip Ijbari, yaitu bahwa peraliban harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.
b.  Prinsip Individual, yaitu bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
c.  Prinsip Bilateral, artinya bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.
d.  Prinsip kewarisan hanya karena kematian, yakni bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup.

C.  Sebab-sebab Terjadinya Warisan
a.  Hubungan Nasab (Darah), seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, kakek dan nenek
b.  Hubungan Perkawinan, yang terdiri dari duda atau janda. Perkawinan yang sah menimbulkan hubungan kewarisan. Jika seorang suami meninggal dunia maka isteri atau jandanya mewarisi harta suaminya, dan demikian pula sebaliknya.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanyalah : anak, ayah, ibu, janda atau duda.






KESIMPULAN

Dari makalah diatas, dapat kami simpulkan bahwa Kewarisan islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut :
  1. Dalil- dalil yang bersumber dari al-qur’an
  2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-sunnah, dan
  3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma dan ijtihad para ulama.
Ijtihad ialah menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu al-qur’an dan hadits kemudian menarik garis hukum daripadanya dalam suatu masalah tertentu, misalnya berijtihad dari qur’an kemudian mengalirkan garis-garis hukum kewarisan islam daripadanya.





















PENUTUP
Semoga dengan pembahasan kali ini kita akan semakin mengerti dengan apa yang menjadi polemik kekeluargaan dalam pembagaian harta gono-gininya. Dengan kata lain semoga kita nantinya yang akan menjdai Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga akan lebih bijaksana dalam penentuannya (pembagian harta warisan).                               Akhirnya kami selaku pemakalah jika ada kekurangan disana sini harap dimaklumi karena setiap orang tidak luput dari yang namanya ketidaksempurnaan. Hanya Allah SWT-lah yang memiliki kesempurnaan itu. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat serta kami ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya.













Daftar Pustaka

M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, 1984.
H.R. Otje Salman S., S.H, Hukum Waris Islam, Bandung, Aditama, 2006

Prof. Dr. Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqh. Yogyakarta. AK Group, 1995

Sajuti Thalib, S.H. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta, PT. Bina Aksara
1981.









[1] M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, 1984. hal. 1

[2] Ibid.
[3] M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, 1984. hal. 47

[4] H.R. Otje Salman S., S.H, Hukum Waris Islam, Bandung, Aditama, 2006. hal. 3

[5] Prof. Dr. Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqh. Yogyakarta. AK Group, 1995, hal. 17

[6] Sajuti Thalib, S.H. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta, PT. Bina Aksara, 1981. Hal. 7

[7] Ibid. Hal. 9
[8] M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, 1984. hal. 8