Selasa, 26 April 2011

Tafsir Tentang Rosul Utusan Allah

BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang

              Allah berfirman dalam surat al-Ahzab; 40
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Ibnu Katsir berkata: "Ayat ini merupakan dalil yang nyata lagi tegas yang menyatakan bahwa tidak ada nabi lagi setelah beliau shollallahu 'alaihi wasallam , dan bila sudah tidak ada nabi setelah beliau, maka sudah barang tentu tidak ada rasul, karena kerasulan lebih spesifik dibanding kenabian, sebab setiap rasul adalah nabi, dan tidak sebaliknya. Dan yang demikian ini juga telah ditegaskan dalam banyak hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam oleh beberapa sahabatnya
Beliau juga berkata: "Diantara perwujudan rahmat Allah terhadap hamba-Nya ialah Ia mengutus kepada mereka Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam , dan diantara bentuk kemulian yang dilimpahkan kepada mereka ialah dengan ditutupnya kenabian dan kerasulan dengan kenabian dan kerasulannya shollallahu 'alaihi wasallam , dan juga dengan disempurnakannya agamanya yang lurus ini. Allah Ta'ala telah mengabarkan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shollallahu 'alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang mutawatir (banyak jumlahnya) bahwa tidak ada nabi setelah beliau shollallahu 'alaihi wasallam . Ini semua agar setiap manusia mengetahui bahwa siapa saja yang mengaku menjadi nabi setelah beliau berarti ia adalah pendusta, pengada-ada, pemalsu, sesat lagi menyesatkan, walaupun ia menunjukkan kehebatan, keanehan, sihir dan ajimat yang beraneka ragam.
Yang demikian ini karena orang-orang yang berakal dapat mengetahui bahwa seluruh yang ini tunjukkan adalah suatu hal yang mustahil lagi sesat. Setiap orang yang berakal dan memiliki pemahaman jernih akan tahu bahwa keduanya adalah pendusta lagi sesat. Semoga Allah senantiasa melaknati keduanya dan juga melaknati setiap yang mengaku-ngaku menjadi nabi di sepanjang masa hingga hari qiyamat, dan datangnya Dajjal. Setiap orang dari para pendusta tersebut telah memiliki beberapa keanehan, yang setiap ulama' dan orang yang beriman, akan mengatakan bahwa pelakunya adalah nabi palsu, tentu ini merupakan wujud dari rahmat Allah kepada hamba-Nya.


BAB II
PEMBAHASAN


a.      Devinisi Rosul dan Tafsir Surat an-Nisa Ayat 170

Firman Allah dalam surat an-Nisa, ayat 170:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya telah dating Rosul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu dan jika kamu kafir, maka (kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang dilangit dan dibumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana (An-nisa; 170).[1]

a.1. Penjelasan singkat

Nabi dalam bahasa Arab berasal dari kata naba. Dinamakan Nabi karena mereka adalah orang yang menceritakan suatu berita dan mereka adalah orang yang diberitahu beritanya (lewat wahyu). Sedangkan kata rasul secara bahasa berasal dari kata irsal yang bermakna membimbing atau memberi arahan. Definisi secara syar’i yang masyhur, nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan sedangkan Rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu dalam syari’at dan diperintahkan untuk menyampaikannnya (*). Sebagian ulama menyatakan bahwa definisi ini memiliki kelemahan, karena tidaklah wahyu disampaikan Allah ke bumi kecuali untuk disampaikan, dan jika Nabi tidak menyampaikan maka termasuk menyembunyikan wahyu Allah. Kelemahan lain dari definisi ini ditunjukkan dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Rasul adalah seorang lelaki yang terpilih dan yang diutus oleh Allah dengan risalah kepada manusia. Definisi rasul ini menggambarkan kepada kita bagaimana manusia sebagai Rasul yang terbaik di antara manusia lainnya. Sehingga apa yang dibawa, dibincangkan dan dilakukan adalah sesuatu yang terpilih dan mulia dibandingkan dengan manusia lainnya. Rasul sebagai pembawa risalah yang Allah berikan kepadanya dan juga Rasul sebagai contoh dan teladan bagi aplikasi Islam di dalam kehidupan seharian. Untuk lebih jelasnya bagaimana mengenal Rasul yang menjalankan peranan pembawa risalah dan sebagai model, maka kita perlu mengenal apakah ciri-ciri dari Rasul tersebut. Ciri-ciri Rasul adalah mempunyai sifat-sifa yang asas, mempunyai mukjizat, sebagai pembawa berita gembira, ada berita kenabian dan memiliki ciri kenabian, juga nampak hasil perbuatannya.[2]
Allah memerintahkan supaya manusia beriman kepada-Nya karena itulah yang baik bagi mereka. Ajaran-ajaran yang dibawanyalah yang akan membawa manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. Al-Anbiya': 107).[3]

a.2. Tafsir Surat an-Nisa Ayat 170
            Allah memerintahkan seluruh manusia agar beriman kepada hambaNya dan rosulNya, Muhammad saw, dan Allah menyebutkan sebab diharuskannya beriman kepadanya, serta kemudharatan yang akan didapatkan dengan tidak beriman kepadanya.
            Adapun sebab yang mengharuskan untuk beriman kepadanya adalah, kabar Allah bahwa ia datang kepada mereka dengan membawa kebenaran. Artinya, kedatangannya itu sendiri adalah suatu kebenaran dan apa yang dibawanya berupa syari’at adalah kebenaran.[4] Seorang yang berakal akan mengetahui bahwa tetapnya orang dalam kejahilan mereka, sebenarnya mereka bingung dalam kekufuran mereka dan terus didera kebimbangan.
Diantara hikmah dan rahmat-Nya yang agung adalah mengutus rosul kepada kaum mereka sendiri agar mengajarkan kepada mereka petunjuk dari kesesatan, dan penyimpangan dari jalan yang lurus. Maka dengan hanya memandang pada kerasulannya itu adalah sebuah dalil yang kuat akan kebenaran kenabiannya. Demikian pula memperhatikan apa yang dibawanya berupa syariat yang agung dan jalan yang lurus.

b.      Tafsir Surat Al-A’araf Ayat 158
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Artinya: Katakanlah: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini adalah Rasul Allah kepada kamu sekalian; (Tuhan) Yang mempunyai kerajaaan semua langit dan bumi; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menghidupkan dan yang mematikan. Maka percayalah kamu lepada Allah dan RasulNya yang ummi, yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimatNya; dan ikutilah dia, mudah-mudahan kamu mendapat petunjukNya.”

“Katakanlah: “ Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini adalah Rasul Allah kepada kamu sekalian.”
Dengan beliau diperintahkan menyampaikan seruan ini kepada seluruh manusia, menjelaskan pula beliau diutus ialah buat mereka sekalian, hilanglah segala keraguan bahwa beliau diutus hanya kepada kaumnya saja, misalnya Quraisy atau Arab saja.[5]
Teranglah sudah bahwa beliau diutus buat seluruh manusia, seluruh bangsa dan seluruh dunia, tidak mengenal kulit dan perlainan bahasa.
Perhatikanlah ayat ini dengan seksama. Dia telah menghilangkan keraguan yang ditumbuhkan setengah kaum Orientalis, yang dengan secara ilmiah hendak membelokan perhatian orang, da berkata bahwa Nabi Muhammad SAW. Itu hanya pemimpin dari bangsa Arab, dan bukanlah dia diutus oleh Allah utnuk seluruh manusia. Nabi Muhammad SAW  hanyalah untuk bangsa Arab atau kaum Quraisy semata-mata. Kalau sesampai di Madinah, kebetulan Muhammad telah mendakwakan dirinya menjadi Rasul untuk seluruh manusia di dunia ini, hanyalah semata-mata kebetulan saja. Sebab dilihatnya daerah sudah lebih luas. Inilah ilmiah yang dikemukakan oleh kaum Orientalis Barat, yang dalam rasa permusuhan kepada Islam, mereka memungkiri kenyataan.
Ayat ini jelas diturunka di Mekkah, sebelum Agama Islam tersiar luas. Meskipu Rasulullah SAW masih berpengikut sedikit, dan masih bersembunyi-sembunyi mengerjakan Agama, namun kenyataan itu telah disebar luaskan.
Racun yang dimasukkan oleh kaum Orientalis itu, terasuk menular dalam negeri-negeri Islam, dan putera-putera Islam yang diberi didikan colonial. Mereka diajarkan bahwa Nabi Muhammad itu hanya Nabinya orang Arab, yang “diimport” dating kemari. Sebelum Islam datang kamu telah mempunyai kebudayaan yang tinggi dan murni, nenek moyang kamupu telah mempunyai Tuhan juga sebelum Islam masuk.
Setelah Indonesia merdekapun adapula yang berkata: “sebagai pembuktian dari kepercayaan nenek moyang kita kepada tuhan, kita telah mengambil dasar Negara Pancasila. Sila pertama yaitu “Ketuhanan yang maha Esa”. Sebab itu agama “orang Arab” iini kita singkirkan saja, sebab kita telah bertuhan sejak dari dahulu”.
Keterang yang seperti itu nyatalah menunjukkan kepicikan fikiran, atau “katak dalam tempurung” karena sngat mendalamnya ajaran “Nasionalisme” yang menimbulkan “Chauvanisme”. Sebab bukan saja bangsa Indonesia di zaman jahiliyah yang mengakui adanya Tuhan, bahkan bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad diutus, mengakui juga bahwa Tuhan Pencipta alam memang ada. Bukan saja bangsa Arab, bahkan fitrah manusia ketika akalnya mulai tumbuh, kepercayaan akan adanya Tuhan adalah pembawaan dari mulai lahir ke dunia.
Tetapi yang mengajarkan tentang sifat Allah yang sebenarnya, kekuasaan Allah dan keesaan Mutlak Allah, tidak lain adalah Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang diutus oleh Allah. Kedatang Nabi-nabi dan Rasul-rasul itu ialah menerangkan siapa Allah itu.[6]
Oleh klaren itu sudah terang bahwa Rasulullah SAW diutus buat seluruh manusia, niscaya pemeluk-pemeluk agama lain, termasuk juga Budha dan Brahmana, pemeluk Shinto dan kepercayaan-kepercayaan lain, apabila telah sampai kepada mereka seruan Rasul, tidaklah ada artinya iman mereka kepada Allah, kalau mereka tidak mau memepercayai Rasul yang terakhir itu. Bersabda rosulullah saw:






Artinya: “Demi Allah, yang diriku ada dalam tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku ini seorang laki-laki dari umat yang sekarang ini, baik ia Yahudi Karena sudah jelas , bahwa barang siapa yang mengaku beriman kepada  Allah, tidak bahwa dia mesti percaya kepada utuasn-utusan, Rasul-rasul dan Nabi-nabi Allah. Sebagaimana tersebut di ayat terakhir dalam surat Al-Baqarah juga “kami tidak akan membeda-bedakan di antara seorangpun dari pada Rasul-rasul Allah itu”.
Sebab itu maka dalam ayat ini, setelah Rasulullah disuruh menerangkan kepada seluruh manuisa bahwa beliau diutus untuk seluruh insane diseluruh jagat raya, dijelaskan isi maksud kedatangannya, yaitu untuk menerangkan bahwa Allah yang mengutusnya itu ialah: “Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi”.
Dengan lanjutan penjelasan ayat ini, yaitu bahwa yang mengutus beliau sebagai Rasul kepada seluruh umat manusia ialah Allah, dan Allah itulah yang Maha Kuasa  atas seluruh kerajaan langit dan bumi, diterangkanlah bahwasanya kekuasaan Allah  atas manusia, atas bumi tempat manusia berdiam, dan atas langit tempat matahari bersinar. Dan disebutkan disini kerajaan semua langit dan bumi untuk menjelaskan tampuk kekuasaan pada seluruh alam itu adalah pada yang satu semata-mata, tidak berbagi dengan yang lain.

c.       Tafsir Surat Al-Ahzab; 38-40
مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا
Artinya: Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku,(Al-Ahzab; 38)
الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah [1223], mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.(Al-Ahzab; 39).
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(Al-Ahzab; 40)
Setelah menjadi jelas duduk soal perkawinan Nabi saw. Denga janda bekas anak angkat beliau, dan telah ringan pula apa yang tadinya berat beliau pikul, hilang pula rasa takut, segan atau ketidaksenangan yang tadinya memenuhi hati beliau, kini Allah menegaskan sambil membimbing kekasih-Nya bahwa: Tidak ada atas Nabi Muhammad suatu dosa dan rasa berat pun menyangkut apa yang telah ditetapkan  yakni dikodratkan dan dibolehkan Allah baginya. Sepertihalnya walau kawin dengan janda bekas anak angkat.
Ibn ‘Asyur menulis bahwa ayat ini adalah penjelasan tambahan tentang persamaan Nabi Muhammad saw. Dalam hal kebolehan mengawini janda bekas anak angkat, dan bahwa hal itu  tidak mengurangi nilai kenabian, karena hal-hal mubah merupakan kebiasaan para Nabi-nabi sebelum beliau.
Kawin merupak sunnah para Nabi. Nabi Ibrahim as kawin, bahkan konon Nabi Daud dan Sulaiman  mempunyai banyak isteri, karena  itu bukanlah suatu yang aib bila Nabi saw pun kawin   Kata hasiban  yang terdiri akarnya dari huruf-huruf  ha’, sin  dan ba’  mempunyai 4 kisaran makna, yakni menghitung, mencukupkan, bantal kecil,  dan  penyakit yang menimpa kulit sehingga memutih.  Tentu saja makna yang  ketiga dan keempat mustahil dikaitkan atau disandang oleh Allah swt. Dalam al-Qur’an kata hasib  terulang sebanyak empat kali, tiga diantaranya menjadi sifat Allah  dan yang keempat tertuju kepada manusia yakni firman-Nya dalam QS. Al-Isra: 14

Artinya: “bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu .”( QS. Al-Isra: 14)
Imam Ghazali menguraikan bahwa al-Hasib bermakna dia yang mencukupi siapa  yang mengandalkannya. Sifat ini, tidak dapat disandang kecuali Allah sendiri, karena hanya Allah yang dapat mencukupi lagi diandalkan bagi setiap makhluk. Allah sendiri yang dapat emncukupi semua makhluk, mewujudkan kebutuhan mereka, melanggengkannya bahkan menyempurnakannya.[7]
Seseorang yang meyakini bahwa Allah adalah Hasib bagi dirinya, akan selalu merasa tentram, tidak terusik oleh gangguan, tidak kecewa oleh kehilangan materi atau kesempatan, karena selalu merasa cukup dengan Allah. Kalau kata Hasib dipahami dalam arti menghitung, maka Allah, antara lain adalah yang melakukan perhitungan menyangkut amal-amal baik buruk manusia secara amat teliti, lagi amat cepat.
Kaum musyrikin, orang Yahudi dan kaum munafikin menganggap perkawinan Nabi Muhammad dengan Zaenab sebagai perkawinan ayah terhadap isteri anaknya (HR. at-Tirmidzi melalui ‘Aisyah ra.), Karen mereka menganggap bahwa anak angkat sama statusnya dengan anak kandung, padahal al-Qur’an telah membatalkan tradisi itu melalui awal surah ini (ayat 4). Disini sekali lagi ditegaskan bahwa: Muhammad saw. Kendati mempunyai sekian isteri dan anak kandung laki-laki, sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki dewasa di antara kamu yang hidup dewasa ini.
d.      Tafsir Surat Fathir Ayat 24
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلا خَلا فِيهَا نَذِيرٌ
Artinya: Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.

Karena tugas nabi Muhammad selain member peringatan juga membawa berita gembira, maka ayat ini melanjutkan dengan menyatakan bahwa: sesungguhnya Kami mengutusmu, kepada seluruh umat manusia dengan haq yakni perutusan yang haq lagi membawa kebenaran dari sumber yang haq yakni Allah SWT, engkau adalah pembawa berita gembira bagi yang taat dan pemberi peringatan bagi yang durhaka. Dan tidak ada satu umatpun dari umat yang terdahulu melainkan telah berlalu yakni telah dating kepadanya seorang pemberi peringatan baik sebagai Nabi atau sebagai Rosul yang ditugaskan langsung oleh Allah, maupun sebagai penerus ajaran Nabi atau Rosul.[8]
Nah, jika mereka menyambut baik ajaran yang engkau sampaikan, maka berbahagialah mereka, dan jika mereka mendustakanmu, maka bersabarlah menghadapi mereka sebagaimana rosul-rosul sebelummu karena sesungguhnya telah mendustakan pula kebenaran orang-orang yang sebelum mereka yakni sebelum generasi kaum Musyrikin Mekah itu lelah mendustakan pula kebenaran yang disampaikan oleh rosul-rosul mereka; kepada mereka telah dating rosul-rosul mereka masing-masing dengan membawa keterangan-keterangan yakni mukjizat dan bukti-bukti kebenaran yang nyata, yang membuktikan kebenaran mereka sebagai rosul.[9]


BAB III
PENUTUP
a.       Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas, dapat kami simpulkan bahwa: Nabi dalam bahasa Arab berasal dari kata naba. Dinamakan Nabi karena mereka adalah orang yang menceritakan suatu berita dan mereka adalah orang yang diberitahu beritanya (lewat wahyu). Sedangkan kata rasul secara bahasa berasal dari kata irsal yang bermakna membimbing atau memberi arahan.
Tafsir ayat-ayat diatas menjelaskan tentang utusan Allah, sebagai pemberi kabar gembira dan ancaman pada tiap-tiap zaman. Karena disetiap zaman, pasti ada rosul sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira bagi umatnya.














DAFTAR REFERENSI

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, 1991)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, (Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007)

Abdullah, Pengertian Tentang Rasul, http://materi-tabiyah.blogspot.com/2009/08/pengertian-tentang-rasul.html

 

Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982)

M. Qurais Syihab, Tafsir al-Mishbah


 

 

 






   
  


[1] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, 1991), h. 152

[2] Abdullah, Pengertian Tentang Rasul, artikel diakses pada: Rabu, 23 Maret 2011, dari: http://materi-tabiyah.blogspot.com/2009/08/pengertian-tentang-rasul.html

[3] Ibid, h. 508
[4] Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, (Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007), Cet. I, h. 268
[5] Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982), h. 127
[6] Ibid, h. 129
[7] M. Qurais Syihab, Tafsir al-Mishbah, h. 284
[8] M. Qurais Syihab, Tafsir al-Mishbah, h. 460
[9] Ibid, h. 460

Tidak ada komentar:

Posting Komentar