Kamis, 28 April 2011

Adillah Syar'iyyah (Dalil-dalil Syar'i Dalam Ilmu Ushul Fiqh)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.                                                Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.                                                                                      Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.                                                      

                                     







PEMBAHASAN
ADILLAH SYAR’IYAH

A. Devinisi Dalil
Dalil secara etimologi dalam bahasa arab adalah :



Yang berarti : Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material ( Maknawi ).
Secara terminology, dalil dalam bahasa arab ialah :


Dan mengandung pengertian : suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’I ( pasti ) maupun zhanni ( relative ).[1]
 Prof. Dr. H. Amir Syarifudin dalam bukunya ( Ushul Fiqh ) mendefinisikan dalil secara etimologi sebagai sesuatu yang dapat menunjuki. Kata dalil dan yang seakar dengannya disebut sebanyak delapan kali dalam al-Qur’an dengan arti tersebut. Umpamanya firman Allah SWT dalam surat al-Furqon (25): 45 :


Artinya : Kami jadikan matahari sebagai dalil ( petunjuk)
            Dikalangan fuqaha, kata dalil itu diartikan sesuatu yang padanya terdapat pnunjukan pengajaran, baik yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang meyakinkan atau kepada dugaan kuat yang tidak meyakinkan. Dikalangan para ulama ushul fiqh kata dalil diartikan sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan khabari dengan pemikiran yang shahih. Dari rumusan ta’rif ushul fiqh itu, maka sesuatu yang tidak menyampaikan kepada tuntutan atau menyampaikan kepada tuntutan yang bukan khabari, atau menyampaikan dengan pemikiran yang sah, bukan disebut dalil dalam artian ini.[2]
            Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.[3]
            Dalam pengertian bahasa Indonesia, sumber biasa diartikan sebagai asal sesuatu, seperti sumber air adalah tempat memancarnya air yang sering disebut mata air. Dalam pengertian ini, maka mashadir al-ahkam  dalam islam itu hanya al-Qur’an dan sunnah. Pengertian ini didukung oleh pengertian Allah sebagai al-Syar’I ( penentu/ pencipta hokum islam ). Para ulama ushul fiqih pun sebenarnya menyatakan bahwa hokum islam itu seharusnya berasal dari Allah. Rosul hanya berfungsi sebagai penegas dan penjelas ( al-mu’akkid wa al-mubayyin ) hokum-hukum yang disampaikan Allah melalui wahyunya sekalipun terkadang Rosulullah saw menetapkan hukum tertentu melalui sunnahnya, ketika wahyu tidak turun dari Allah, akan tetapi ketetapan Rosulullah ini juga tidak terlepas dari bimbingan wahyu.
            Oleh sebab itu, para ulama fiqh kontemporer lebih cenderung memilih bahwa yang menjadi sumber utama hukum islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Karena al-Qur’an dan Sunnah disepakati oleh seluruh ulama Ushul Fiqh klasik dan kontemporer sebagai sumber primer hukum islam.
            Akan tetapi dalam literature ushul fiqh, para ulama ushul fiqh klasik dan kontemporer ditemukan bahwa sumber atau dalil syara’ itu selalu dikelompokkan kepada adillah al-ahkam al-muttafaq ‘alaiha yaitu dalil dalil hukum yang disepakati dan adillah al-ahkam al-mukhtalaf fiha yaitu dalil-dalil hokum yang diperselisihkan.
            Adillah al-ahkam al-muttafaq ‘alaiha, menurut mereka adalah terdiri atas al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Sedangkan adillah al-ahkam al-mukhtalaf fiha terdiri atas istihsan, istishab, mashlahah al-mursalah, al-‘urf, sadd al-dzari’ah, madzhab shahabi, dan syar’u man qablana.[4]
            Al-Syathibi mengemukakan satu prinsip dalil syara’ sebagai berikut :
1.      Dalil syara’ tidak bertentangan dengan tuntutan akal. Prinsip ini didasarkan kepada :
Ø  Kalau menyalahi akal, maka ia bukan dalil syara’ untuk hamba yang berakal
Ø  Kalau menyalahi akal, berarti membebani manusia dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan manusia.
Ø  Sumber taklif atau pembebanan hokum adalah akal.
Ø  Hasil penelitian menunjukan bahwa dalil syara’ berlaku menurut akal.
2.      Tujuan pembentukkan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia dalam perhitungannya
3.      Setiap dalil bersifat kulli ( global). Seandainya ia bersifat Juz’I ( terinci ) adalah tersebab oleh hal-hal yang dating kemudian, dan tidak menurut asas penetapannya.
4.      Dalil syara’ terbagi kepada qoth’I dan zhanni.
5.      Dalil syara’ terbagi menjadi dalil naqli dan dalil ‘aqli.[5]

B. Macam – Macam Dalil Syar’I dan Kedudukannya
            Sumber hukum dalam Islam itu menurut pandangan para ulama ada dua macam. Pertama  yang disepakati (muttafaq) para ulama dan kedua yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
            Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
            Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[6] Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.[7]
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.







Artinya : “Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.[8]
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.
1. Al-qur’an dan Kedudukannya Dalam Hukum Islam                                        Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah SWT tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum adalah Allah. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut al-qur’an. Dengan demikian, ketetapan bahwa al-qur’an adalah sumber utama bagi hukum islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh.[9]                                                   Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum-hukum Ilahi. Al-Qur’an lebih diutamakan daripada sumber-sumber lain yang dirujuk guna mendapatkan berbagai hukum (ahkam) syari’ah. Al-Qur’an telah dan akan tetap – selain merupakan sumber konfrehensif hukum-hukum Ilahi – juga menjadi kriteria untuk menilai berbagai hadits. Atas dasar inilah, sejak zaman nabi Muhammad SAW hingga saat ini dan untuk selamanya, Al-Qur’an telah menjadi sumber rujukan utama bagi para fuqaha Islam.                                                                                                                                    Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya.
2. As-Sunnah dan kedudukannya Dalam Hukum Islam                                                  Al-Hadis adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, al-Hadis mempunyai peranan penting setelah Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan.                                                                                                          Diantara peranan  al-Hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam, yakni sebagai berikut :

  1. Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Misalnya dalam Al-Quran terdapat ayat tentang sholat tetapi mengenai tata cara pelaksanaannya dijelaskan oleh Nabi.
  2. Sebagai penjelasan isi Al-Quran. Di dalam Al-Quran Allah memerintah- kan manusia mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan banyaknya raka’at, cara rukun dan syarat mendirikan shalat. Nabilah yang menyebut sambil mencontohkan jumlah raka’at setiap shalat, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat.



3. Ijma’ dan Kedudukannya Dalam Hukum Islam
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan               berarti berupaya di atasnya.[10] Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.[11]                                                Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara. Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .                                                               Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah al-qur’an as-sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hokum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-qur’an dan sunnah.[12]
4. Qiyas dan Kedudukannya dalam Hukum Islam                                                            Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.[13] Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.                                               Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:



Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
            Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.                                                              Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
                                   





















KESIMPULAN

            Adillah al-ahkam al-muttafaq ‘alaiha, adalah terdiri atas al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Sedangkan adillah al-ahkam al-mukhtalaf fiha terdiri atas istihsan, istishab, mashlahah al-mursalah, al-‘urf, sadd al-dzari’ah, madzhab shahabi, dan syar’u man qablana.                                     
            Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara. Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
            Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.     



















DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997.

Drs. Nasrun Haroen, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996.

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999

Abdul Wahhab al-Khallaf, ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978)

Prof. Dr. H. satria Effendi, M. Zein, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta, Kencana, 2005

Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus. 1995.


           





[1] Drs. Nasrun Haroen, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996. Hal.15

[2]  Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 44

[3] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999, hal 82.

[4] Drs. Nasrun Haroen, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996. Hal. 17
[5]  Ibid

[6] Abdul Wahhab al-Khallaf, ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) hal 21

[7] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401
[8] Hadits diriwayatkan al-Thabrani (lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15), hal 96.

[9] . Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, 1997. Hal. 73

[10] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.

[11] Ibid.

[12] Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal. 118

[13] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus. 1995. Hal 336

1 komentar:

  1. Assalamualaikum
    Syukran atas ilmunya
    Semoga kita selalu dalam rahmat Allah SWT.
    Kunjungi juga ya blog kami

    https://seruankemuliaan.blogspot.co.id/

    Kumpulan pengetahuan Islami kini dan masa depan

    BalasHapus