Jumat, 29 April 2011

Sumber Hukum Kewarisan Islam

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

 

Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Sedemikian pentingnya kedudukan hukum waris Islam dalam hukum Islam dapat disimpulkan dari hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Addaraquthni yang menyatakan Pelajarilah faraidl (hukum waris) dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena faraidl adalah separoh ilmu dan mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari umatku.

Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan system dan bentuk hukum yang berlakudalam masyarakat itu. Hal ini disebabkan hokum kewarisan ini sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh hukum kewarisan islam. Jadi kewarisan itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban  seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hokum lainnya.[1]

Hukum kewarisan yang merupakan salah satu bagian dari system kekeluargaan berpokok pangkal pada pada system menarik garis keturunan, pada pokoknya dikenal tiga macam system keturunan.[2]

 

PEMBAHASAN
SUMBER – SUMBER HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Hukum Kewarisan Islam
Hukum Kewarisan, atau disebut pula hukum faraidl (bahasa Arab) merupakan bagian dari Hukum Kekeluargaan. Di antara ilmu hukum, hukum faraidl merupakan ilmu pertama yang akan keras punah dari permukaan bumi. Hal ini dikarenakan sedikit orang yang bersedia untuk mempelajari hukum faraidl tersebut.
Islam telah membawa perubahan terhadap pengaturan kaidah hukum yang mengatur pemindahan benar dan pembagian harta peninggalan (tirkah) pewaris berdasarkan hubungan kekerabatan bilateral. Karena itu tidak berkelebihan bukan bila Hukum Kewarisan ini dianggap sebagai ilmu yang maha penting dalam Hukum Islam. Perinsip pokok hukum kewarisan adalah hubungan darah, kemudian diperincikan.[3]
Kewarisan islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut :
  1. Dalil- dalil yang bersumber dari al-qur’an
  2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-sunnah, dan
  3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma dan ijtihad para ulama.[4]
Dengan demikian, sumber hukum islam tentang waris ialah asal hukum islam tentang waris.[5] Adapun perbedaan ketiga dalil tentang dasar-dasar hukum ilmu mawaris tersebut diatas itu akan pemakalah bahas masing-masing subnya.

A.1. Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam Al-qur’an
Dasar hukum bagi kewarisan adalah nash atau apa yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah. Ayat-ayat Qur’an yang mengatur secara langsung kewarisan diantaranya adalah :
a. QS An Nisa’ : 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. ( QS An Nisa’ : 7 )
            Garis hukum kewarisan pada ayat diatas ( QS. An Nisa’ : 7 ) adalah sebagai berikut :
  1. Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
  2. bagi aqrobuun ( keluarga dekat ) laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrobuun ( keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)-nya.
  3. bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
  4. bagi aqrobuun ( keluarga dekat ) perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrobuun ( keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)-nya.
5.      ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang banyak.          Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh tuhan.[6]          
            Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ayat ke-7 an-Nisa ini masih bersifat universal, walaupun dialah ayat yang pertama yang menyebut – nyebut adanya harta peninggalan. Harta peninggalan disebut dalam ayat ini dengan sebutan maa taraka. Sesuai dengan system ilmu hukum pada umumnya, dimana ditemui perincian nantinya, maka perincian yang khusus itulah yang mudah memperlakukannya dan yang akan diperlakukan dalam kasus-kasus yang akan diselesaikan.[7]                              Masih banyak ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan tentang dasar-dasar hukum kewarisan dalam islam, namun pemakalah hanya merumuskan satu ayat yang lebih universal, yang sering dipakai untuk rujukan atau dalil kewarisan dalam islam.                               
b. QS An Nisa’ : 9
وَلْيَخْشَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar
B.1  Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam Al- hadits
Dasar hukum kewarisan yang kedua, yaitu dasar hukum yang terdapat dalam hadits nabi Muhammad SAW. Dari sekian banyak hadits nabi yang menjadi landasan hokum kewarisan islam, pemakalah hanya mencantumkan beberapa dari hadits nabi, diantaranya sebagai berikut :
عن إبن عباس رض الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم : ألحقوا الفراءض بأهلها فما بقيا فهو لأولى رجل ذكر
Artinya : Dari Ibnu Abbas R.A dari Nabi SAW berkata : “Berikanlah faraid ( bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang dekat.”
Dalam hadits lain Rosulullah SAW bersabda :
عن عمران بن حصين أن رجلا أتى النبى صلى الله عليه و سلم فقال : أن ابن ابنى مات فمالى من ميراثه فقال لك السدس
Artinya : Dari ‘Umran bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata : “bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari warisannya.”Nabi menjawab :”Kamu mendapat seperenam.”
Meskipun Al-Quran menyebutkan secara terperinci ketentuan-­ketentuan bagian ahli waris, Sunnah Rasul menyebutkan pula hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Quran, antara lain :
1.  Hadits riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa harta warisan, setelah diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu.
2.  Hadits riwayat Al-Jamaah, kecuali Muslim dan Nasai, mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak waris atas harta orang kafir, dan orang kafir tidak berhak atas harta orang muslim.
3.  Hadits riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi memberikan bagian warisan kepada dua nenek perempuan 1/6 harta warisan dibagi dua.
4.  Hadits riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak waris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan kelahiran.

C.1 Dasar Hukum Kewarisan Islam Dalam Ijtihad Ulama

Ijtihad ialah menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu al-qur’an dan hadits kemudian menarik garis hukum daripadanya dalam suatu masalah tertentu, misalnya berijtihad dari qur’an kemudian mengalirkan garis-garis hukum kewarisan islam daripadanya.[8]
Dalam definisi lainnya, ijtihad yitu pemikiran para sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian harta warisan. Yang dimaksud disini ijtihad dalam menerapkan hukum , bukan untuk mengubah pamahaman atau ketentuan yang ada.


Meskipun Al-Qur’an dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama­-sama dengan ayah dan duda atau janda.

B.  Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
a.  Prinsip Ijbari, yaitu bahwa peraliban harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.
b.  Prinsip Individual, yaitu bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
c.  Prinsip Bilateral, artinya bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.
d.  Prinsip kewarisan hanya karena kematian, yakni bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup.

C.  Sebab-sebab Terjadinya Warisan
a.  Hubungan Nasab (Darah), seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, kakek dan nenek
b.  Hubungan Perkawinan, yang terdiri dari duda atau janda. Perkawinan yang sah menimbulkan hubungan kewarisan. Jika seorang suami meninggal dunia maka isteri atau jandanya mewarisi harta suaminya, dan demikian pula sebaliknya.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanyalah : anak, ayah, ibu, janda atau duda.






KESIMPULAN

Dari makalah diatas, dapat kami simpulkan bahwa Kewarisan islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut :
  1. Dalil- dalil yang bersumber dari al-qur’an
  2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-sunnah, dan
  3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma dan ijtihad para ulama.
Ijtihad ialah menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu al-qur’an dan hadits kemudian menarik garis hukum daripadanya dalam suatu masalah tertentu, misalnya berijtihad dari qur’an kemudian mengalirkan garis-garis hukum kewarisan islam daripadanya.





















PENUTUP
Semoga dengan pembahasan kali ini kita akan semakin mengerti dengan apa yang menjadi polemik kekeluargaan dalam pembagaian harta gono-gininya. Dengan kata lain semoga kita nantinya yang akan menjdai Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga akan lebih bijaksana dalam penentuannya (pembagian harta warisan).                               Akhirnya kami selaku pemakalah jika ada kekurangan disana sini harap dimaklumi karena setiap orang tidak luput dari yang namanya ketidaksempurnaan. Hanya Allah SWT-lah yang memiliki kesempurnaan itu. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat serta kami ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya.













Daftar Pustaka

M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, 1984.
H.R. Otje Salman S., S.H, Hukum Waris Islam, Bandung, Aditama, 2006

Prof. Dr. Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqh. Yogyakarta. AK Group, 1995

Sajuti Thalib, S.H. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta, PT. Bina Aksara
1981.









[1] M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, 1984. hal. 1

[2] Ibid.
[3] M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, 1984. hal. 47

[4] H.R. Otje Salman S., S.H, Hukum Waris Islam, Bandung, Aditama, 2006. hal. 3

[5] Prof. Dr. Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqh. Yogyakarta. AK Group, 1995, hal. 17

[6] Sajuti Thalib, S.H. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta, PT. Bina Aksara, 1981. Hal. 7

[7] Ibid. Hal. 9
[8] M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, 1984. hal. 8

1 komentar: