Jumat, 06 Mei 2011

Profesionalitas guru, tantangan, dan solusinya

BAB I
PENDAHULUAN
Guru adalah profesi yang mempersiapkan sumber daya manusia untuk menyongsong pembangunan bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Guru dengan segala kemampuannya dan daya upayanya mempersiapkan pembelajaran bagi peserta didiknya. Sehingga tidak salah jika kita menempatkan guru sebagai salah satu kunci pembangunan bangsa menjadi bangsa yang maju dimasa yang akan datang. Dapat dibayangkan jika guru tidak menempatkan fungsi sebagaimana mestinya, bangsa dan negara ini akan tertinggal dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian waktu tidak terbendung lagi perkembangannya.
Serangkaian masalah yang meliputi dunia kependidikan dewasa ini masih perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Mulai dari kualitas tenaga pendidik yang belum mencapai target hingga masalah kesejahteraan guru. Fakta di lapangan, permasalahan jauh lebih kompleks dalam lingkungan pendidikan kita. Boleh dikatakan tingkat kualitas dan kompetensi guru menjadi kendala utamanya, mulai dari guru yang tidak memiliki kelayakan kompetensi untuk mengajar mata pelajaran tertentu, hingga rendahnya tingkat profesionalisme guru itu sendiri.
Pemerintah pada 2 Desember 2004 telah mencanangkan guru sebagai profesi. Artinya, guru saat ini dituntut bukan hanya sekadar pekerjaan datang- mengajar lalu pulang. Tapi dituntut untuk mencapai serangkaian kualifikasi dalam pencapaian mutu profesionalisme yang telah ditetapkan.
Guru yang profesional minimal memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didik, berjiwa kreatif dan produktif, memiliki etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya serta melakukan pengembangan diri yang terus-menerus. Guru sekarang diharapkan beranjak dari metode lama yang hanya mengandalkan komunikasi satu arah, di mana guru menjadi sentral pembelajaran menjadi pembelajaran dengan komunikasi dua arah dengan murid yang menjadi fokus utama pembelajaran.
Guru yang ideal adalah guru yang terus-menerus berinovasi untuk meneliti masalah yang ditemukan dalam proses pembelajaran. Kemudian mencari solusi dan melakukan tindakan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Guru diharapkan terus bereksperimen menemukan metode dan teknik pembelajaran yang cocok dan efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Guru hendaknya terus membuka wawasan dan kreatif untuk membuat murid bergairah dalam proses belajar dan bisa mengaplikasikan prinsip belajar menyenangkan serta belajar yang tak terbatas ruang dan waktu.  Belajar tidak lagi diartikan guru menjelaskan, siswa menerima, dan dilakukan di ruang kelas. Namun paradigma belajar bergeser menjadi proses penemuan pengetahuan yang dilakukan oleh murid sebagai fokus utama pembelajaran dengan bantuan guru dalam peranannya sebagai fasilitator dan pembimbing.
Untuk mencapai proses pembelajaran ideal yang menjadi tujuan dan arah dalam pencapaian profesionalisme guru, fasilitas dan dukungan juga wajib menjadi perhatian utama pemerintah. Dengan sekian banyak tuntutan dalam mencapai keprofesionalannya, guru harus membuka diri terhadap pengetahuan dan wawasan baru serta berupaya mengembangkan diri. Aktif dalam organisasi yang dapat mengasah kompetensinya, mengikuti pelatihan yang meningkatkan mutu dan kualitas, meningkatkan pengetahuan melalui buku, internet, seminar dan semacamnya.
Semua guru pasti merasa senang saat diberi apresiasi sebagai GURU PROFESIONAL. Berbagai usaha dilakukan agar pekerjaan ini diakui sebagai sebuah profesi yang profesional. Usaha tersebut seperti melanjutkan pendidikan S1-S2, mengikuti sertifikasi, sering mengikuti pelatihan lokal/nasional/internasional, menulis buku/jurnal, memberi pelatihan dan lain sebagainya. Tapi apakah profesionalisme hanya diukur melalui itu semua? Harus diakui bahwa semua hal yang telah disebutkan di atas masih belum terlihat bukti di lapangan. Kadang sebagai pendidik saya sering tergelitik melihat status profesionalisme identik dengan naiknya gaji/tunjangan fungsional atau posisi struktural seorang guru di tempat mengajar/administrasi pemerintah. Tidak mengherankan progres kualitas pendidikan Indonesia sangat lambat.
Adapun tujuan dari pembuatan dan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
a.       Agar kita mengetahui makna professional dalam literature kita sebagai guru yang memang dituntut untuk memiliki jiwa professional dalam pelaksanaan pembelajaran.
b.      Agar kita tahu beragam tantangan dalam profesi  sebagai guru sekaligus memberikan solusi terhadap tantangan itu.
c.       Sebagai tugas mata kuliah Pengembangan Profesi Keguruan.



BAB II
PROFESIONALITAS GURU, TANTANGAN DAN SOLUSI

Kemunculan masalah kultural/tradisi bertitik tolak dari permasalahan waktu. Lamanya kondisi guru berada dalam ketidaksejahteraan telah membentuk tradisi-tradisi yang terinternalisasi dalam kehidupan guru sampai sekarang. Konkretnya, tradisi itu lebih mengacu pada ranah akademis.
Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan konsentrasi guru terpecah menjadi beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut memenuhi kesejahteraannya secara berbarengan.
Dalam praktiknya, seorang guru sering kali lebih banyak berjibaku (baca: berkonsentrasi) dengan usahanya dalam memenuhi kesejahteraan keluarga. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan kualitas akademis menjadi tersisihkan dan hal ini terus berlangsung sampai sekarang. Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka waktu lama telah menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan.
Permasalahan moral muncul hampir berbarengan dengan permasalahan kultural. Hemat penulis, permasalahan moral ini bisa disamakan dengan permasalahan watak dari guru itu sendiri. Akar masalahnya sama, muncul sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan guru. Minimnya kesejahteran guru secara tidak langsung telah menggiring guru-guru dalam ruang-ruang sempit pragmatisme. Yang terbayang oleh seorang guru ketika melaksanakan proses pendidikan adalah bagaimana seorang guru bisa dengan cepat menyelesaikan target studi yang telah dirancang. Setelah itu guru bisa langsung beralih profesi sejenak demi mendapatkan tambahan pendapatan karena kesejahteraannya minim. Akhirnya, pendidikan yang seyogianya diselenggarakan melalui proses memadai terabaikan. Hasil akhir menjadi target utama dibandingkan dengan proses yang dilaksanakan. Inilah wujud nyata dari watak-watak pragmatis.
Permasalahan struktural lebih mengacu pada kondisi atau struktur sosial seorang guru di luar proses pendidikan (baca: lingkungan sosial). Jika mengacu pada sumber masalah, hal ini berasal dari minimnya kesejahteraan yang dimiliki seorang guru. Minimnya tingkat kesejahteraan secara materialistis dari seorang guru telah menyebabkan posisi sosial guru di masyarakat tersubordinasi. Mulyani AN menyebut bahwa pendidikan di Indonesia secara kuantitatif  dapat dikatakan telah mengalami kemajuan. Indikatornya dapat dilihat pada kemampuan baca tulis masyarakat yang mencapai 67.24%.[1]
Terkait dengan guru, secara umum tantangan yang dihadapi guru di era globalisasi dan multicultural ini adalah bagaimana pendidikan mampu mendidik dan menghasilkan siswa yang memiliki daya saing tinggi (qualified), atau justru malah “mandul” dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan yang penuh dengan kompetensi dalam berbagai sector, mampu menghadapi tantangan di bidang politik dan ekonomi, mampu melakukan risett secara koperhensif di era reformasi serta mampu membangun kualitas kehidupan sumber daya manusia. Di samping itu, dilihat dari segi aktualisasinya pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan siswa (peserta didik) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Guru, siswa dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk triangle, yang jika hilang salah satunya, maka hilang pulalah hakikat pendidikan. Namun demikian, dalam situasi tertentu tugas guru dapat dibantu oleh unsur lain, seperti media teknologi tetapi tidak dapat digantikan. Oleh karena itulah, tugas guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional.[2] Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini mulai dipertanyakan eksistensinya secara fungsional karena munculnya fenomena para lulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap untuk memasuki lapangan kerja atau bahkan dalam bersaing untuk memasuki dunia pendidikan tinggi. Jika fenomena ini dijadikan tolok ukur, maka peranan guru sebagai pendidik profesional baik langsung maupun tidak langsung menjadi dipertanyakan.
Semua tantangan itu mengharuskan adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi secara komperhensif dan kooperatif yang berwawasan keunggulan, keahlian professional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar bebas. Selain tantangan tersebut, tersedia juga peluang atau kesempatan untuk merevitalisasi berbagai komponen yang terdapat dalam pepndidikan agar sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman.
Posisi sosial guru menjadi terkesan lebih rendah daripada masyarakat lain yang berprofesi bukan guru, katakanlah itu seorang konsultan, manajer, pengacara, dan lainnya. Padahal, seperti kita ketahui, secara hakikat, profesi yang digeluti seseorang adalah sama, tidak saling menyubordinasi. "Inferiority complex"
Yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam hal ini adalah efek dari subordinasi sosial tersebut. Efek tersebut adalah perasaan rendah diri dari seorang guru, atau dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer sebagai inferiority complex. Bagi seorang guru, perasaan rendah diri seperti ini merupakan hal yang harus dihindari. Fungsi guru sebagai pentransformasi sosial kepada peserta didik memerlukan kepercayaan diri yang besar. Bukan tidak mungkin perasaan-perasaan rendah diri tersebut akan menular kepada peserta didik. Hal ini tentu saja sangat berbahaya.
Simpulan sederhana dari ketiga masalah tersebut adalah bahwa akar permasalahan guru kontemporer adalah tingkat kesejahteraan. Minimnya tingkat kesejahteraan guru menjadi permasalahan pokok. Di luar kontroversi tentang UU Guru dan Dosen tersebut, kita mendapatkan pembenaran dari UU Guru dan Dosen tersebut, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Lima tahun pascapengesahan UU Guru dan Dosen merupakan masa transisi menuju profesionalisme guru seutuhnya. Oleh karena itu, dalam konteks menuju profesionalisme guru seutuhnya tersebut, masalah-masalah di atas seyogianya diposisikan sebagai sebuah tantangan yang harus segera dijawab.
Guru sebagai profesi merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna berdasarkan norma yang berlaku. Kekuatan dan eksistensi profesi muncul sebagai akibat interaksi timbal balik antara kinerja tenaga profesional dengan kepercayaan publik (public trust). Studi tentang mutu pendidikan dasar di Indonesia menunjukkan bahwa mutu pendidikan yang lebih tinggi di daerah perkotaan ditandai dengan lebih besarnya efek faktor luar sekolah dibandingkan dengan faktor sekolah, sedangkan di pedesaan mutu pendidikannya cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor sekolah.[3]
Masyarakat percaya pelayanan yang diperlukannya itu hanya dapat diperoleh dari orang yang dipersepsikan sebagai seorang guru yang berkompeten untuk memberikan pelayanan yang dimaksudkan. Kepercayaan publik akan mempengaruhi konsep profesi dan memungkinkan anggota profesi berfungsi dengan cara-cara profesional.
Alih-alih menurun, sejak kini hingga masa depan tantangan profesi keguruan semakin meningkat. Dalam Mengangkat Citra dan Martabat Guru (Dedi Supriadi, 1999:73-74) mengangkat suatu tantangan yang harus siap dihadapi guru dan pada saat yang sama harus dicarikan solusinya oleh berbagai pihak terkait (birokrasi dan organisasi kependidikan). Salah satunya berkaitan dengan masalah ekologi profesi bagi guru. Pekerjaan guru (mendidik) yang mulia dan seharusnya menyenangkan, seringkali malah menjadi sumber ketegangan lantaran iklim dan kondisi kerja yang terlalu sarat dengan beban tugas-tugas birokrasi, beban sosial-ekonomi dan tantangan kemajuan karir yang terkait erat dengan jaminan hak-hak kesejahteraan guru.
Dalam hal beban birokrasi, guru harus berhadapan dengan pekerjaan-pekerjaan rutin administrasi yang bukan tugas-tugas profesional. Beban sosial antara lain terkait dengan tuntutan masyarakat yang masih memandang bahwa guru adalah sosok manusia serba tahu dan serba bisa. Tidak sedikit orangtua yang memiliki tuntutan yang melampaui kemampuan guru agar anak mereka menjadi serba bisa sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, kondisi objektif di lapangan sangat mungkin guru menghadapi pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan, informasi, dan teknologi -termasuk masalah kependidikan, yang menuntut dirinya harus lebih profesional dan bahkan siap 'bersaing' dengan peserta didik dalam hal itu. Beban-beban yang sudah berat itu, makin menjadi kompleks manakala guru (SD) -terutama yang hidup dikota - juga harus berjuang meningkatkan kemampuan finansial dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang memang masih jauh dapat dipenuhi dengan gaji mereka. Kondisi semua ini, dapat diprediksi kuat akan sangat berpengaruh timbale balik terhadap profil psikologis guru.
Profesi guru dewasa ini sangat jauh berbeda profesi guru zaman kemerdekaan sampai tahun 1906-an atau bahkan 1970-an. Mengapa ? dulu orang ditawari untuk menjadi guru atau bahkan mau diangkat menjadi PNS dia lebih memilih kata “tidak”. Entah kenapa ? mungkin yang jelas, dan semoga jawaban ini salah gaji saat itu masih terbilang sangat minim (rendah). Bahkan terkadang dia mencibir dengan kata-kata yang kurang mengenakkan. “Ah … lebih baik narik becak atau cari pekerjaan lain”.
Demikian katanya. Juga kata-kata yang sinistik lainnya. Vigur seorang guru hanya diukur dengan rupiah.Guru mendapat penilaian termasuk golongan kelas bawah. Bukan dinilai vigur yang mulia yang biasa menjadi salah satu penentu maju mundurnya suatu bangsa.Karena bagaimanapun Sumber Daya Manusia (SDM) sanat diperlukan bagi suatu bangsa atau Negara. Dan gurulah yang bias mewarnai anak bangsa untuk menjadi individu yang berkualitas, siap baik lahir maupun batin.Pemberian transfer ilmu pengetahuan, pendidkan ketrampilan dan lain-lain diberikan guru dengan tanpa pamrih untuk kebaikan dan keberhasilan anak didiknya.[4]
Lain halnya dengan profesi guru dewasa ini. Sejak pemerintah sudah mulai ada perhatian khusus di dunia pendidikan. Bantuan-bantuan untuk operasional, gedung, sarana prasarana dengan berbagai macam bantuan kebutuhan pendidikan. Termasuk bantuan untuk guru itu sendiri baik yang berbentuk insentif, kesra tunjangan fungsional dan tunjangan profesi. Guru sepertinya “dininabobokkan” dan “dimaja”. Sehingga profesi guru sekarang ini menjadi tarjet rebutan manyarakat Indonesia. Sehingga banyak mayarakat yang tadinya enggan untuk kuliah lagi, mereka giat penuh semangat melanjutkan kuliah walaupun setangah dipaksakan. Ada yang mengambil D II, ada yang dari D II transfer melanjutkan S 1 –nya dan ada pula yang mengambil akta – IV. Dengan harapan mereka bias mengambil celah masuk menjadi tenaga pendidikan yang titik kulminasinya adalah “PNS”. Wacana ini mungkin saja tidak sepenuhnya benar. Karena masih banyak kita jumpai guru-guru dipedesaan, pinggiran ataupun pedalaman dengan gaji yang pas-pasanatau bahkan sangat minim namun mereka jalani dengan penuh kesabaran dan ketelatenan serta punya etos dan dedikasi sebagai pendidik tanpa pengaruh oleh berbagai berita yang berkembang di dunia pendidikan Indonesia.
Era globalisasi adalah tantangan besar bagi dunia pendidikan. Dalam konteks ini, Khaerudin Kurniawan (1999), memerinci berbagai tantangan pendidikan menghadapi ufuk globalisasi.
Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development ).
Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM.
Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.
Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif yang berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.[5] Beberapa modal maya yang sangat diperlukan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup guru adalah modal intelektual, modal sosial, kredibilitas dan semangat.[6]
Menurut Arief Rahman (2002), setidaknya ada sembilan titik lemah dalam aplikasi sistem pendidikan di Indonesia:
1.      Titik berat pendidikan pada aspek kognitif
2.      Pola evaluasi yang meninggalkan pola pikir kreatif, imajinatif, dan inovatif
3.      Sistem pendidikan yang bergeser (tereduksi) ke pengajaran
4.      Kurangnya pembinaan minat belajar pada siswa
5.      Kultur mengejar gelar (title) atau budaya mengejar kertas (ijazah).
6.      Praktik dan teori kurang berimbang
7.      Tidak melibatkan semua stake holder, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah
8.      Profesi guru/ustadz sekedar profesi ilmiah, bukan kemanusiaan
9.      Problem nasional yang multidimensional dan lemahnya political will pemerintah.[7]
            Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat.
Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan. Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.[8]
Guru, sebuah profesi yang semangatnya sudah tercabik-cabik oleh perjalanan  panjang sejarah bangsa. Kadangkala mereka dipuja dengan gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” Guru-pun agak tersanjung meski gaji tidak juga kunjung naik karena mereka bukanlah pengatur buget negara. Ketika Rezim berganti, gelarpun diganti “ Pahlawan tanpa pamrih “ guru-pun tersenyum karena memang mereka dihargai tanpa pamrih, sementara disana korupsi semakin menjadi-jadi. Sekali lagi itulah potret guru masa lalu, namun saat ini seiring dengan perjalanan sejarah semua itu telah berubah.
Saat ini diera reformasi, dalam usia yang begitu tua dan   matang Guru sedang memasuki momentum yang baru dimana berbagai kebijakan pemerintah lahir yang semuanya mengarah kepada Guru sebagai Profesi yang bermartabat baik secara Norma (Nilai) maupun peningkatan kesejahteraan (Renumerasi). Diantaranya adalah lahirnya UU. Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan Dosen dimana Guru dan Dosen mempunyai kedudukan yang strategis dalam pembangunan Nasional dalam bidang pendidikan perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan yang mencakup: isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana,pengelolaan, pembiayaaan dan penilaian pendidikan. Sedangkan peraturan Menteri pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2007 Tentang sertivikasi Guru dalam jabatan yang ditetapkan dengan memperhatikan surat menteri hukum dan HAM nomor I.UM.01.02-253 tanggal 23 maret 2007 tentang fatwa hukum, dimana sertifikasi Guru  dilaksanakan  melalui  uji Kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik Yang dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio. Bagi Guru PNS daerah, PNS pusat atau non PNS yang telah lulus sertifikasi akan diberi nomor registrasi Guru dan melaksanakan beban kerja Guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dalam satu minggu berhak atas tunjangan profesi pendidik sebesar satu kali gaji pokok.
Inilah bentuk Renumerasi pemerintah terhadap peningkatan kesejahtraan Guru. Akibat dari semua itu Guru mesti berbenah diri karena renumerasi tersebut harus seiring dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan mutu pendidikan yang berkwalitas.
 Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Sumbawa Drs.Muhammad Iksan,M.Pd  (pada Talk opening MGMP SMP negeri 1 Utan)  mengungkapkan bahwa kedepan Guru harus menjadi corong perubahan dalam dunia pendidikan oleh karena itu guru harus memiliki Kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Kalau kita merujuk kepada Peraturan pemerintah nomor 19 / 2005 tentang standar Nasional Pendidikan pasal 28 ayat 3 setidaknya Guru harus mempunyai 4 kompetensi yang meliputi : Kompetensi Paedagogik, kompetensi   personal , kompetensi profesional dan kompetensi    Sosial.[9]
Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui seminar dengan tema "Membangun Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami secara Kaffah” yang diselenggarakan oleh Lembaga Mitra Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Pidie Jaya  ini, hendaknya dilihat sebagai upaya revitalisasi peran guru, yaitu mewujudkan apa yang harus dikerjakan sebagai guru yang profesional. Dengan revitalisasi peran guru ini diharapkan adanya peningkatan mutu pendidikan secara signifikan. Dasarnya adalah UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini dinyatakan bahwa otonomi pendidikan berasaskan desentrasilasi, dengan pendekatan manajemen bebasis sekolah (MBS). Pendekatan MBS dimaksudkan untuk menumbuhkan kemandirian dan kreatifitas kepemimpinan kepala sekolah dan guru bidang studi yang kuat dan efektif. Oleh karena itu amanat dalam UU tersebut harus menjadi dasar dan arah dalam pengembangan profesionalitas guru masa depan.[10] Dalam penerapan konsep MBS untuk meningkatkan mutu pendidikan menuntut profil kepala sekolah dan guru bidang studi yang aktif, kreatif dan inovatif dengan perubahan paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik, --di mana sebagian besar urusan persekolahan menjadi urusan sekolah yang bersangkutan, yakni oleh kepala sekolah, dewan guru dan masyarakat.
Guru adalah suatu profesi yang bermartabat, oleh karena itu perlu didukung oleh pelayanan yang tepat dan bermanfaat, pelaksana yang bermandat, dan pengakuan yang sehat dari berbagai pihak yang terkait. Untuk dapat melaksanakan profesinya guru harus memiliki visi dan misi mendalam dalam bidang profesinya, dapat melakukan aksi pelayanan secara tepat dan akurat, disertai dedikasi yang tinggi untuk kepentingan pengguna.
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertangung jawab dalam mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar, memahami dan mengamalkan ilmunya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Peningkatan mutu pendidikan Islami sangat ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan serta kualitas kehadiran guru dalam proses belajar mengajar.
Salah satu aspek penting dalam reorientasi pengembangan profesionalitas guru di sini adalah terletak pada kemampuannya meningkatkan modal intelektual, modal sosial, kredibilitas dan semangatnya dalam mengemban tugas sebagai guru. Ada tiga tugas utama guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar dalam arti meneruskan dan mengembangkan IPTEK, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan pada peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa di sekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat memahami peserta didik dengan tugas perkembangannya mulai dari sebagai makhluk bermain (homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (homopither), dan sebagai makhluk berpikir/dewasa (homosapiens). Guru juga bertugas membantu peserta didik dalam menstransformasikan dirinya sebagai upaya pembentukan sikap dan mengidentifikasikan diri sebagai peserta didik.






KESIMPULAN
           
Permasalah guru harus diselesaikan secara komprehensif yang menyangkut dengan semua aspek yang terkait, yaitu aspek kualifikasi, kualitas, pembinaan, training profesi, perlindungan profesi, manajemen, kesejahteraan guru, dan tersedianya fasilitas yang memadai. Sungguh berat tugas guru, tetapi penghargaan pada profesi guru kurang optimal, tetapi para guru selalu dinilai kinerjanya rendah dan kurang optimal. Perlu ada perhatian yang serius kepada para guru, yaitu mereka harus selalu mendapatkan pelatihan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baru yang diperlukan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Perlu ada sistem peningkatan pengetahuan bagi guru secara tersistem dan berkelanjutan atau ada inservice training yang baik bagi para guru. Para guru harus siap untuk mempebaiki dan meningkatkan mutu kinerjanya agar memiliki kompetensi yang optimal dalam usaha membimbing siswa agar siap menghadapi kenyataan hidup [the real life] dan bahkan mampu memberikan contoh tauladan bagi siswa, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan dan menjadi dambaan setiap orang.
Rencana pemerintah untuk melakukan sertifikasi guru perlu dihargai sebagai wujud perhatian terhadap nasib guru yang terpinggirkan. Tetapi, pemerintah harus mengikutsertakan guru-guru atau tenaga kependidikan sebagai variabel penting dalam ”badan independen sertifikasi guru” tersebut dan badan tersebut tetap berada dalam Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] atau pemerintah tidak perlu membentuk badan baru untuk melakukan sertifikasi tetapi akan lebih baik jika Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] atau universitas keguruan eks IKIP diberdayakan untuk melakukan sertifikasi guru. Lembaga-lembaga kependidikan yang menyelenggarakan program Akta IV sebagai upaya untuk sertifikasi guru, perlu ditingkatkan kualitasnya baik dari sisi profesional penyelenggaraan, kurikulum, metode pembelajaran, sistem peneilaian dan manajemennya, sehingga memiliki ”kualifikasi” untuk dapat mendidik para calon guru yang profesional.





DAFTAR REFERENSI

Ace Suryadi dan Wiana Mulyana, (1992), Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profesional Guru, Bandung: Candimas Metropole

Kurniawan, Khaerudin, “Arah Pendidikan Nasional Memasuki Milenium Ketiga”, Suara Pembaharuan, Januari 1999.

Mulyani A.N., (1999), Pokok-Pokok Pikiran mengenai Implikasi Pelaksanaan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, Makalah disajikan pada Semiloka di UNJ pada tanggal 3 November 1999 di UNJ Jakarta.

Nana Syaodih Sukmadinata, (1997), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya

Arief, Kualitas Pendidikan Harus Dimaksimalkan, Media Indonesia, 30 Mei 2002

Rahman, Editor, (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangor


Sumber: Harian Kompas, Kamis 22 Januari 2009






[1] Mulyani A.N., (1999), Pokok-Pokok Pikiran mengenai Implikasi Pelaksanaan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, Makalah disajikan pada Semiloka di UNJ pada tanggal 3 November 1999 di UNJ Jakarta.
[2] Nana Syaodih Sukmadinata, (1997), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 191.
[3] Ace Suryadi dan Wiana Mulyana, (1992), Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profesional Guru, Bandung: Candimas Metropole, hal. 1.
[4] http://gemapendidikan.com/2010/05/antara-harapan-dan-tantangan/
[5] Kurniawan, Khaerudin, “Arah Pendidikan Nasional Memasuki Milenium Ketiga”, Suara Pembaharuan, Januari 1999. Hal 43
Rahman, Editor, (2006), Rahman, Editor, (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangorhal. Hal 3.
[7] Rachman, Arief, Kualitas Pendidikan Harus Dimaksimalkan, Media Indonesia, 30 Mei 2002. Hal 24
[8] http://www.fendy-science.co.cc/2010/11/profesi-guru.html
[9] http://www.bekasinews.com/berita/opini/1051-guru-antara-renumerasi-dan-profesionalisme.html
[10] Rahman, Editor, (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangor, hal. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar