Selasa, 03 Mei 2011

Sejarah Khalifah Sepeninggal Nabi


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah di pilih berdasarkan musyawarah. Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah melalui pertemuan saqifah atas usulan umar. Problem besar yang dihadapi Abu Bakar ialah munculnya nabi palsu dan kelompok ingkar zakat serta munculnya kaum murtad Musailimah bin kazzab beserta pengikutnya yang menolak untuk membayar zakat dan murtad dari islam yang memicu terjadinya perang Yamamah.
Ketika Abu Bakar sakit dia bermusyawarah dengan para sahabat untuk menggantikan beliau menjadi khalifah pada masa Umar gelombang exspansi pertama terjadi. Umar membagi daerah kekuasaan islam menjadi 8 propinsi yaitu : Makkah, Madinah, Syiria, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Umar membentuk panitia yang beranggotakan 6 orang sahabat dan meminta salah satu diantaranya menjadi khalifah setelah Umar wafat. Panitia berhasil mengangkat Utsman menjadi khalifah. Pada masa pemerintahan utsman wilayah islam meluas sampai ke Tripoli barat, Armenia dan Azar Baijan hingga banyak penghafal Al-Qur’an yang tersebar dan tarjadi perbedaan dialek, yang menyebabkan masalah serius. Utsman membentuk tim untuk menyalin Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar, tim ini menghasilkan 4 mushaf Al-Qur’an dan Utsman memerintahkan untuk membakar seluruh mushaf selain 4 mushaf induk tersebut.
Utsman dibunuh oleh kaum yang tidak puas akan kebijakannya yang mengangkat pejabat dari kaumnya sendiri (Bani Umayah). Setelah Utsman wafat umat islam membaiat Ali menjadi khalifah pengganti utsman, kaum Bani Umayah menuntut Ali untuk menghukum pembunuh Utsman, karena merasa tuntutannya tidak dilaksanakan Bani Umayah dibawah pimpinan Mu’awiyah memberontak terhadap pemerintahan Ali. Perang Siffin mengakibatkan perpecahan umat islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu, Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Ali), dan Khawarij (orang yang keluar dari barisan Ali).

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sejarah Berdirinya Khilafah Sepeninggal Nabi.
Sebelum kita membahas tentang sejarah khilafah dalam islam, alangkah baiknya bila kita memahami dulu makna dari khilafah. Secara bahasa, khilafah berasal dari kata khalafa yang artinya orang yang menyusul selepas orang yang terdahulu, atau pengganti orang yang lalu, seterusnya lahirlah kalimat khalifah yang berarti pemimpin atau tertua tertinggi. Jadi yang dimaksud dengan sejarah berdirinya khilafah sepeninggal Nabi adalah, sejarah pemimpin dan pemerintahan Islam setelah wafatnya Nabi.
Ketika Nabi wafat, para sahabat dihadapkan pada permasalahan besar yang berkaitan dengan kekuasaan, terlebih kala itu pengaruh Rasulullah SAW, telah tersebar dan meluas ke kawasan arab yang lain. Banyak di antara daerah-daerah tersebut yang telah menganut Islam, mereka juga telah patuh untuk membayar jizyah, lalu masih berlanjutkah pengaruh Madinah? Jika ya, siapakah dari penduduk kota tersebut yang akan memegang tanggung jawab?.
Setelah meninggalnya Nabi, kaum Anshar berkumpul di Saqifah banu sa’idah, di sana Sa’ad bin Ubadah berpidato dihadapan majlis Anshar, dan memberikan propaganda bahwa yang layak untuk duduk menggantikan Nabi di Madinah adalah dari kaum Anshar, yaitu Sa’ad bin Ubadah, namun sebelum pembai’atan terjadi Umar mendengar bahwa kaum Anshar akan membai’at Sa’at bin Ubadah di Tsaqifah Banu Sa’idah, sehingga dengan tergesa-gesa Umar mendatangi Umar untuk menemui kaum Anshar di tsaqifah.
Pertemuan di tsaqifah sangat lah penting dalam sejarah Islam yang baru tumbuh itu. Jika dalam pertemuan ini Abu Bakar tidak memperlihatkan sikap tegas dan kemauan yang keras –seperti juga di kawasan arab yang lain— justru di kandang sendiri hampir saja agama baru ini menimbulkan perselisihan, sementara jenazah pembawa risalah itu masih ada di dalam rumah, belum lagi dikebumikan.
Walaupun lewat perdebatan yang cukup sengit antara kaum Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah, dengan kaum Anshar, akhirnya Abu Bakar di Bai’at di tsaqifah meskipun Sa’ad bin Ubadah tidak membai’atnya hingga wafatnya Abu Bakar.
Setelah pembai’atan di tsaqifah diadakanlah pembai’atan umum dan pidato Abu Bakar yang pertama sebagai Khalifah,[1] namun sebenarnya dalam konsensus ini pun masih belum di ikuti oleh seluruh kaum muslimin, bahkan beberapa sahabat Muhajirin ada yang tidak ikut membai’at Abu bakar, seperti Ali bin Abi Thalib, dan Abbas bin Abdul Muthalib hingga akhirnya Ali bin Abi Thalib membai’at enam bulan kemudian setelah wafatnya Fatimah binti Muhammad.

B.     Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
Setelah kita bahas beberapa hal tentang proses pembentukan kehalifan yang pertama, selanjutnya kita coba untuk memahami bebrapa hal penting yang dilakukan oleh abu bakar dalam kekhilafahannya.
Dengan realita bahwa terdapat banyak pro-kontra dalam kekhalifahan Abu Bakar pasca sepeninggal Nabi, maka tidaklah aneh jika dalam pemerintahannya Abu Bakar lebih banyak terpakai untuk menstabilkan politik dalam negeri, dengan adanya kemunculan nabi palsu ataupun kelompok-kelompok yang murtad sepeninggal Nabi.[2] Untuk menstabilkan politik dalam negeri di Madinah Abu Bakar mengirim 11 panglima untuk melakukan tugas tersebut, adapun panglima yang dimaksud adalah:
1.      Khalid bin Walid yang bertugas untuk memerangi Thulaihah bin Khuwailid yang mengaku nabi dan pemberontakan di Battah Arab Selatan yang dipimpin oleh Malik bin Nuwairah.
2.      Ikrimah bin Abu Jahal yang bertugas untuk memerangi Musailamah al-Kadzab yang mengaku sebagai nabi dari Bani Hanifah yang terletak di pesisir timur Arab.
3.      Syurahbil bin Hasan bertugas membantu Ikrimah.
4.      Muhajir bin Umayyah bertugas menundukan pengikut Aswad al-Insa –orang yang pertama kali mengaku Nabi di daerah Yaman— dan memadamkan pemberontakan di daerah Hadramaut yang dipimpin oleh Kais bin Maksyuh.
5.      Huzaifah bin Muhsin al-Galfani bertugas mengamankan daerah Daba karena pemimpinnya mengaku sebagai Nabi.
6.      Arfajah bin Harsamah bertugas mengembalikan stabilitas daerah Oman dan Muhrah.
7.      Suwaid bin Muqarrin bertugas mengamankan daerah Tihamah yang terletak di sepanjang Laut Merah.
8.      Al Alla’ bin Hadrami bertugas memadamkan pemberontakan kaum Riddah di daerah bahrein.
9.      Amr bin Ash bertugas memadamkan pemberontakan suku Kuda’ah dan Wadi’ah.
10.  Khalid bin Sa’id bertugas memadamkan pemberontakan suku-suku besar dekat perbatasan Suri’ah dan Irak.
11.  Maan bin Hajiz bertugas memadamkan pemberontakan kaum Riddah dari suku Salim dan Hawazin di daerah Thaif.
Setelah ke-11 panglima tersebut di atas mampu menstabilkan politik dalam negeri dan membungkam pemberontakan-pemberontakan yang muncul, maka Khalifah Abu Bakar memfokuskan pemerintahannya kepada ekspansi keluar, yaitu Persia dan Romawi Timur. Adapun panglima yang ditugaskan untuk ekspansi ke luar adalah:
1.      Musanah bin Harisah al-Sayyaibani, bertugas menaklukan beberapa wilayah Persia.
2.      Khalid bin Walid, bertugas membantu pasukan Musanah untuk menaklukan pusat kerajaan Persia dan berhasil, serta mengangkat seorang Amir di tiap daerah yang ditaklukan.
3.      Abu Ubaidah bin Jarrah, bertugas menaklukan daerah Romawi, yaitu Homs Suriah utara dan Antokia.
4.      Amr bin As, bertugas menaklukan wilayah Palestina.
5.      Syurahbil bin Hasan, bertugas menundukan Tabuk dan Yordania.
6.      Yazid bin Abu Sofyan, bertugas menaklukan Damaskus dan Suriah Selatan.
Kerena begitu gencarnya ekspansi ke luar negeri yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar sehingga menghasilkan dua perang besar, yaitu: perang Yarmuk dan Perang Mauqiah Zat as-Salasil. Abu Bakar memerintah selama 2 tahun 3 bulan, selam itu pula beliau mampu menorehkan banyak prestasi, dari meredam keberadaan nabi palsu, mempertahankan keutuhan Negara Islam saat itu, lebih dari itu Abu Bakar juga dianggap orang yang paling berjasa dalam pengumpulan mushaf al-qur’an dalam satu kitab, bahkan lebih dari pada itu, Abu Bakar dalam sakitnya mampu membuat terobosan baru yang tidak sempat dilakukan oleh Nabi, yaitu menunjuk Khalifah sesudahnya. Hal ini disebabkan oleh kejadian di Tsaqifah Banu Sa’idah yang hampir saja meluluh lantahkan semua perjuangan Nabi. Abu Bakar kemudian memanggil Utsman dan Abdurrahman bin Auf secara bergantian, seraya bertanya tentang kemungkinan naiknya Umar memegang tampuk kekuasaan kekhalifan, selain itu Abu Bakar juga bermusyawarah dengan Sa’id bin Zaid serta Usaid bin Hudair, serta yang lain dari kalangan Muhajirin dan Anshar, sebahagian besar di antara mereka khawatir sikap Umar yang sangat keras akan memecah belah ummat, sehingga mereka berinisiatif untuk memohon kemungkinan Abu Bakar menarik kembali niatnya, namun hal itu hanya membangkitkan murka Abu Bakar, hingga akhirnya Abu Bakar mengimla’kan surat wasiat sekaligus pengangkatan Umar sebagai Khalifah yang dituliskan oleh Utsman.[3]
Abu Bakar wafat dalam pada hari senin malam ke-21 Jumadil Akhir tahun 13 Hijrah (22 Agustus 634 M) dalam usia 63 tahun. Beliau wafat di sore hari setelah terbenamnya matahari dan dimakamkan pada malam itu, setelah dimandikan oleh istrinya Asma’ binti Umais, kemudian beliau dimakamkan di samping makam Nabi.

C.    Khalifah Umar bin Khattab.
Setelah wafatnya Abu Bakar, Umar selaku Khalifah kedua ditinggalkan banyak hal selain kesuksesan yang telah dilakukan oleh Khalifah pertama, ada beberapa pekerjaan yang sangat krusial yang sangat penting kala itu, di antaranya adalah perang yang tengah berlangsung di Irak dan Syam. Posisi kaum muslimin di Irak dan Syam saat itu memang sangat kritis, mereka sudah tidak berdaya berhadapan dengan pasukan Romawi, salah satu strategi Umar yang cukup controversial dan berani adalah, beliau memecat khalid bin walid dan menggantikannya dengan Abu ubaid, dikirim juga bersama Abu Ubaid seorang sahabat yang bernama Musanna bin Harisah.
Masa pemerintahan Umar adalah masa-masa penuh dengan perang dan penaklukan, dengan kemenangan yang selalu berada di pihak muslimin. Kedaulatan mereka meluas sampai mendekati Afganistan dan Cina di sebelah timur, Anatolia dan Laut Kaspia di sebelah utara, Tunis dan sekitarnya di Afrika Utara di bagian barat dan kawasan Nubia di selatan. Sebenarnya perluasan daerah yang demikian ini di luar konsep politik Umar kala itu, karena yang menjadi ambisi politik Umar adalah menggabungkan semua ras Arab ke dalam satu kesatuan yang membentang dari Teluk Aden di selatan sampai ke ujung utara di pedalaman Samawah.
Ada beberapa catatan yang berkenaan dengan penaklukan daerah-daerah yang dilakukan oleh tentara muslim pada masa khalifah Umar bin Khattab, diantaranya:
1.      Abu ubaid pengganti Khalid bin Walid berhasil melumpuhkan kekuatan Romawi di Suriah, Palestina, dan yerusaleem dengan hasil yang gemilang, hingga kala itu Patriach Shopporius menyerahkan yerussaleem kepada Umar.
2.      Yazid bin Abu Sofyan telah berhasil menaklukan daerah sekitar palestina seperti Gaza, Askalon Caesara.
3.      Khalid bin Walid berhasil menaklukan Mesir yang berikotakan Iskandariah.
4.      Muawiyyah bin Abi Sofyan berhasil menguasai Latkia dan Sidon.
5.      Sa’ad bin Abi Waqqas mampu memadamkan perlawanan pasukan Persia yang dipimpin panglima Rustam yang kemudian dikenal dengan perang Qadisiah. Selain itu Sa’ad juga berhasil menaklukan Babilon, Ctesiphon ibu kota Persia.
Dari segi pemerintahan Umar sudah mulai lebih terbuka, karena prinsip-prinsip syura’ lebih di jalankan, meskipun pada masa Nabi dan Abu Bakar ini telah berjalan, namun musyawarah hanya dilakukan dengan beberapa sahabat terutama Abbas bin Abdul Muttalib, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dan yang setingkat mereka, akan tetapi pada masa Umar, beliau telah mengajak orang banyak dalam musyawarah meskipun pada akhirnya segala keputusan menjadi hak preogratif khalifah, sebagai pengemban amanah yang bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya sendiri, dan kepada ummat yang telah mengangkatnya. Selain itu, pada masa Umar lah administrasi Negara mulai terbentuk, dengan diangkatnya Qadhi’ di berbagai wilayah, yang bertugas untuk menentukan keputusan hukum yang bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, begitu juga lembaga keuangan tidak luput dari perhatiannya.
Kurang lebih 10 tahun Umar memegang jabatan sebagai Khalifah, ada perbedaan pendapat tentang berapa umur Umar kala itu, tapi yang paling mungkin adalah lebih dari 60 tahun, pada waktu itu Umar terbunuh oleh seorang budak kafir asal Persia yang bernama Abu Lu’lu’ah disaat akan mengimami shalat subuh. Kisah terbunuhnya Umar memang mengurai kontroversi, karena sarat dengan konspirasi politik yang terjadi, dalam beberapa pendapat diungkapkan bahwa kematian Umar telah direncanakan, salah satu indikasinya adalah munculnya ramalan ka’ab al-Akhbar tiga hari sebelum terbunuhnya Umar. Dalam keadaan kritis, Umar memerintahkan beberapa tokoh yaitu, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqas untuk bermusyawarah berhubungan dengan pergantian Khalifah, dengan kata lain Umar mengisyaratkan agar salah satu dari mereka yang kemudian hari akan memimpin kekhalifahan Islam, dan dalam hal ini Utsman lah yang kemudian terpilih untuk menjadi Khalifah.[4]

D.    Khalifah Usman bin Affan.
Ekspansi pada masa Khalifah Usman lebih banyak bersifat merebut kembali wilayah yang telah ditaklukan oleh pasukan Islam sebelumnya, namun selain itu Utsman juga melakukan ekspansi ke beberapa daerah, diantaranya:
1.      Pembebasan Azarbaizan yang dipimpin oleh Utbah bin Farqad, dari sini penaklukan juga meluas ke Bab dan Mauqan.
2.      Penguasaan wilayah Tripolli di Barat sampai seluruh Asia Tengah di Timur, Yaman, dan Turkistan.
Namun, banyak kebijakan politik Utsman yang cukup membuat para sahabat marah dan kecewa, salah satunya adalah karena pencopotan pejabat-pejabat penting pada jaman Umar dan mengganti mereka dengan kerabat Utsman, hal-hal inilah yang dalam catatan sejarah dianggap sebagai aib besar yang terjadi di masa kepemimpinan Utsman bin Affan.
Kemarahan beberapa golongan muslimin bergolak sehubungan dengan surat perintah pembunuhan terhadap Muhammad bin Abu Bakar, sehingga selama 40 hari rumah Utsman dikepung oleh kaum pemberontak yang di dalamnya terdapat Muhammad bin Abu Bakar, hingga hari itu pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 35 H, Muhammad bin Abu Bakar merangsek masuk ke rumah Utsman dan merenggut janggut Utsman sementara dia sedang membaca Mushaf pada surat Al-Baqarah, di sini ada beberapa perbedaan pendapat tentang siapa yang membunuh Utsman, ada yang mengatakan Muhammad bin Abu Bakar lah yang melakukannya, namun ada juga yang berpendapat bahwa dia tidak terlibat langsung, namun dia memang berada di sana kala itu.
Sungguh tragis kematian Utsman bin Affan, kaum pemberontak juga tidak memperbolehkan mayat sang Khalifah untuk dikuburkan hingga selama tiga hari. Jenazah itu baru boleh dikuburkan setelah beberapa orang Quraisy meminta Ali menengahi masalah itu dengan kaum pemberontak. Yang menghadiri pemakaman pun hanyalah Marwan bin Hakam, Jubair bin Mut’im, Hakim bin Hizam, Abu Jahm bin Huzaifah al-Adawi, niyar bin Makram, dan kedua istri Usman, Na’ilah binti Farafisah dan Um al-Banin binti Uyainah.

E.     Khalifah Ali bin Abi Talib.
Pasca kematian Utsman, para pemberontak mengadakan pendekatan dengan Ali bin Abi Talib dengan maksud mendukungnya menjadi Khalifah, hal ini dipelopori oleh al-Ghafiqi dari pemberontak mesir sebagai kelompok terbesar. Walaupun pada awalnya Ali menolak, namun karena kekosongan pemimpin serta yang paling layak saat itu adalah Ali. Pada akhirnya Ali dibai’at di masjid Nabawi pada hari Seni 21 Dzulhijjah 35 H/ 20 Juni 656 M, dan yang pertama kali membai’atnya adalah para pemuka pemberontak, dan dalam hal ini sebagian besar kalangan Bani Umayyah tidak mau membai’atnya, selain itu ada beberapa sahabat penting madinah dari Muhajirin dan Anshar, seperti Sa’ad bin Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Hasan bin Sabit, Abdullah bin Umar dan beberapa lainnya yang tidak bersedia untuk membai’at Ali bin Abi Talib.
Pada masa pemerintahannya Ali tidak melakukan ekspansi, karena Ali sangat disibukan dengan mengurus urusan dalam negeri sebagai imbas dari pembunuhan Utsman, terjadi banyak pemberontakan serta perlawanan dari pengikut Utsman.
Kematian Utsman akhirnya terdengar oleh Aisyah istri Nabi yang sedang dalam perjalanan pulang dari Mekkah, terlihat kemarahan di wajah Aisyah, dan satu hal yang ia yakini bahwa Ali ada dibalik pembunuhan Utsman. Kemarahan Aisyah menyebabkan sebuah pertempuran besar di Basrah, terlibat juga di dalamnya Zubair dan Talhah, perang ini kemudian disebut sebagai Waq’at al-Jamal (insiden/perang unta), walaupun perang ini dapat dimenangkan oleh Ali namun akibat dari perang ini sungguh memilukan, karena kaum muslimin saling bunuh dan meninggalkan lebih dari 20.000 korban.
Setelah selesai peperangan dengan Aisyah, perang dingin dengan Muawiyyah bin Abu Sofyan sang gubernur Syam semakin meruncing, terlebih Muawiyyah tetap tidak mau mengakui dan membai’at kekhalifahan Ali. Puncaknya adalah ketika Muawiyyah mengangkat dirinya menjadi Khalifah dan mengklaim dirinya sebagai pengganti Utsman yang terbunuh. Dengan terus menghembuskan isu penuntutan tebusan darah Utsman, perang pun tak bisa dihindarkan, sehingga siffin sebuah tempat yang tak jauh dari sebelah barat pantai sungai Furat menjadi saksi sejarah pertempuran Ali dengan Muawiyyah pada 37 H/ 657 M. Ketika pasukan Muawiyyah mampu dipukul mundur mereka melakukan rekayasa politik dengan mengangkat mushaf dan terjadilah tahkim.
Peristiwa tahkim menyisakan perpecahan dalam tubuh Islam, karena Islam kemudian terpecah menjadi dua wilayah dan kekhalifahan: Imam Ali di timur –semenanjung Arab, Irak dan Persia— , sedangkan Muawiyyah di bagian barat –meliputi Syam (Suria) dan Mesir, inilah awal perpecahan ummat Islam yang berakibat jauh dalam sejarah. Dalam hal ini pengikut Imam Ali terpecah menjadi dua golongan, yaitu: Syi’ah dan khawarij.
Pada tahun 40 H, orang-orang Khawarij akan melaksanakan pembunuhan terhadap 3 orang, yaitu Ali bin Abi talib, Umayyah bin Abi Sofyan, serta Amr bin Ash, ketiganya akan dibunuh pada saat sholat Subuh pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Namun, pembunuhan Muawiyyah dan Amr bin Ash tidak berhasil dilakukan, sementara Abdurrahman bin Muljam –pembunuh Ali— telah berada di Kuffah, hingga waktu Subuh datang ia berhasil menikam Imam Ali dan kemudian meninggal 2 hari setelah tragedi tersebut.

BAB III
PENUTUP

Pergolakan politik pasca wafatnya Nabi memang sangat dramatis, munculnya kekhalifan pertama yang dipegang oleh sahabat Abu Bakar, dilanjutkan oleh Umar, Utsman, dan Ali ternyata harus berakhir dalam sebuah system kerajaan yang di bangun oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan, karena konsep khilafah yang sah adalah bukan perorangan, keluarga, atau kelas tertentu, tapi komunitas secara keseluruhan yang meletakan dasar hukum kepada kitabullah.
Dari kisah ini bisa kita lihat betapa dominasi kesukuan masih sangat mendarah daging pada masa sahabat dan tabi’in, bahkan sesudahnya dan mungkin inilah yang menjadi sandaran bagi para orieantalis yang mengatakan bahwa al-islamu yantasyiru bi ad-dammi wa as-sayfi (islam itu tersebar dengan pedang dan darah), sehingga sebagai seorang muslim kita juga harus mampu membedakan antara Islam sebagai agama suci, serta islam sebagai sebuah tatanan sosial, yang mempunyai hubungan langsung dengan kepentingan, baik politik, ekonomi, dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuti, Imam, Tarikh Khulafa, Penerjemah Samson Rahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2005
As-Suyuti, Jalaludin, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Penerjemah Sudarmadji,Jakarta: Lintas Pustaka, 2003
Harun, Maidir, Khilafah dan Masyrakat Islam Moder,Jakarta: IAIN IB Press.dan Tan Sri, 2006
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta; Kalam Mulia,2001
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban, Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada 2006



     [1] Nourouzzaman Shiddiqi, Tammaddun Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 117-118.
     [2] Syed Mahmuddunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Dadang Afandi (Bandung: CV. Rosida, 1988), hlm. 202.
     [3] Shiddiqi, Tamaddun Muslim, hlm. 119
     [4] Ensiklopedi Islam, vol I, hlm. 75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar