HUBUNGAN
NEGARA DENGAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh : Sarya/ PAI
Hubungan antara Islam dan politik
selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan:
pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki
dua aspek yang selalu kait-mengkait, yakni agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat berdasarkan
Islam, di tempat dan waktu, telah sering terjadi dan mengalami pasang surut.
Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coa
dan belum ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di Indonesia.
Poin kedua dari alasan tersebut yang
sering menimbulkan sikap arogan dari pemerintah. Sebetulnya sikap preventif
terhadap usaha penerapan syariat sebagai landasan hukum tidak hanya pemerintah,
melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah yang kami sebut hubungan agama
dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita tidak setuju jika masalah
agama di bawa ke wilayah Negara. Bagi mereka, agama adalah urusan pribadi
antara dia dengan DIA. Atau mereka ingin menjaga hubungan suci dan sakral ini,
tidak dicampuri urusan dana yang kotor. Apaka sikap mereka bisa digolongkan
liberal? Jawabannya, bisa tetapi dengan catatan kita harus menilai “liberal”
dari kacamata budaya bangsa Indonesia.
Menurut Masdar F. Mas’udi, hubungan
agama dan Indonesia akan masih menjadi masalah. Menurutnya ada anggapan umum
bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga
Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi pemuka bangsa yang
sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui (mengaburkan) batas-batas
keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas seperti
Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.
Pernyataan yang disampaikan beliau
memang bukan tanpa alasan. Kalau kita menilik sejarah ke belakang baik pemimpin
pasca proklamasi maupun orde baru, semua pemimpin bangsa ini tidak begitu
kental keIslamannya. Sebagai paradigma politik memimpin bangsa ini justru lebih
suka mengadopsi pemikiran (nilai-nilai) budaya.
Bahkan di era orde baru sikap
preventif terhadap ormas atau organisasi agama begitu getol. Pemerintah
berusaha mengkerdili umat Islam yang ingin memperjuangkan ajarannya lewat jalur
sturktural. Sejumlah fakta menunjukkan hal tersebut,
misalnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai resmi Islam selalu
dibuat kerdil dengan berbagai cara, kegiatan-kegiatan semi kekerasan dibabat
habis tanpa ampun, misalnya kasus Tanjung Priok, Lampung dan lain-lain. Semua
hal itu dilakukan orde baru terhadap umat Islam karena orde baru sangat trauma
dengan masa lalu di mana politik Islam sangat potensial untuk menggalang massa
dan berbalik menyerang pemerintah sekaligus menjadi oposisi abadi kepada
siapapun yang tengah berkuasa.
Setelah masa reformasi datang yang
ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto pada pertengahan 1998, tepatnya saat
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil
presiden BJ Habibe. Era reformasi disebut-sebut sebagai masa cerah bagi
kehidupan bangsa Indonesia. Demokrasi, katanya, benar-benar tegak, keberadaaan
pers, organisasi politik, ormas tidak lagi dibungkam dan dikerdilkan. Semua
wahana ekspresi diberikan kebebasan sepenuhnya.
Melihat adanya peluang yang terbuka
orma-ormas Islam menggunakan kesempatan yang baik untuk memperjuangkan syari’at
Islam lewat jalur struktural yang selama orde baru terkekang. Usaha-usaha
mereka bisa dilihat bagaimana banyaknya ormas-ormas Islam yang bermunculan
seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin maupun parpol-parpol yang mengusung/
menggunakan simbol Islam. Selain perjuangan melalui ormas dan parpol, jalur
lain yang ditempuh adalah melalui penerapan hukum-hukum Islam melalui
celah-celah otonomi daerah.
Hubungan Islam dan Negara pada Era
Reformasi
Reformasi yang terjadi pada
pertengahan tahun 1998 menyebabkan perubahan drastic dalam berbagai aspek
kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan drastis yang menonjol
dibidang politik pasca orde baru antara lain: hilangnya kekuasaan represif dan
bubarnya sistem bureaucratic polity pemerintah dipegang segelintir orang
berubah menjadi pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat secara riil.
Perubahan birokrasi ternyata
berdampak terhadap kebijakan-kebijakan terhadap semua aspek kehidupan bernegara
termasuk kebijakan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Di saat orde baru
berkuasa, kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat hanya sebatas retorika
belaka. Bahkan pemerintah orde baru cenderung berperilaku sebagai rezim praetorian
yang memiliki banyak kontrol yang mengawasi kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina Negara hingga persoalan personal
semacam keluarga berencana.
Karena begitu ketatnya kontrol
Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu” yang terbukti saat reformasi.
kontrol tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi anak bangsa yang merasa terkekang
sehingga pasca reformasi banyak bermunculan organisasi-organisasi massa (baik
politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga press. Bahkan kata reformasi
berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan individual maupun komunal.
Perubahan tersebut dimanfaatkan oleh
umat Islam untuk memperjuangkan ajaran agamanya agar setidaknya menjadi sumber
hukum formal dalam kehidupan bernegara. Perjuangan ini lebih dikenal dengan
perjuangan jalur strukturalis, yang mana di era orde baru pintu ini tertutup
rapat dan pemerintah hanya membuka pintu kulturalis. Pernyataan selanjutnya
adalah mengapa umat Islam begitu ambisius untuk memasukkan syariat ke dalam
hukum Negara ini?
Dari sudut kuantitas, umat Islam
merupakan mayoritas sehingga sudah sewajarnya jika pemerintah selalu
memperhatikan kepentingan umat Islam dan mengakomodasikan sebanyak mungkin
aspirasi Islam. Dengan kata lain, pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakan programnya harus lebih memihak kepada Islam. Persoalan yang timbul
adalah bagaimana dengan nasib umat minoritas? Keadaan mereka sebenarnya dalam
posisi tidak aman. Mereka belum sepenuhnya percaya pada iktikad baik kelompok
mayoritas yang berjanji akan melindungi eksistensi mereka.
Selain dilihat dari sudut kuantitas
umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat Islam itu sendiri yakni Al-Quran
dan As-Sunah. Agama Islam tidak pernah membedakan persoalan individu dengan
persolan masyarakat, urusan dunia yang profan dan urusan akhirat yang
trasendetal.
Dunia dan akhirat adalah dunia yang
saling menjalin, seperti yang tersirat dalam ajaran Islam bahwa “dunia adalah
ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang sebagai “ladang” sudah barang tentu
keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola sesuai dengan tata krama-Nya. Agar
kelak memberikan bekal yang baik di alam transenden. Kensekuensinya seluruh
aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun individu harus “manut” dengan
aturan tersebut. Dalam bermasyarakat atau berkelompok selalu memiliki
tujuan-tujuan agama dan sekaligus mengabdi pada lestarinya nilai-nilai agama.
Lebih jauh maka seluruh aktivitas muslim selalu diupayakan selaras dengan
nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam, Al-Quran dan As-Sunah.
Semuanya itu perlu
pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu diwujudkan dalam bentuk Negara, mengapa
harus negara? Karena Negara mempunyai kekuasaan sekaligus wilayah yang
membawahi rakyat. Dengan demikian harapan yang muncul adalah masyarakat bisa
taat pada hukum Islam karena sudah ada institusi legal yang bisa menuntut
sangsi bila hukum tersebut tidak dijalankan. Yang perlu digaris bawahi adalah
bagi Islam tujuan bernegara adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama,
keadilan sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam Negara adalah instrument bagi
segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan social.
Yang menjadi pertanyaan adalah
bagimana mengartikulasikan wujud cita-cita tersebut di tengah pluralnya
masyarakat? Untuk menjawab apalagi mengartikulasikan tidaklah mudah, banyak
kendala yang dihadapi di lapangan. Setidaknya ada dua kendala yang menjadi batu
sandungan yakni kendala konsepsional dan kendala praktis. Kendala konsepsional
adalah kendala bagaimana ajaran Islam yang normativ dapat dijabarkan menjadi
separangkat aturan yang berfungsi untuk pelaksanaan di lapangan. Sedangkan
kendala praktis yaitu kendala bagaimana implikasi praktis yang sangat mungkin
timbul pada masyarakat yang plural.
Mohtar Mas’oed menuliskan bahwa
setidaknya ada dua pendekatan sebagai upaya pengartikulasikan Islam dalam
kehidupan masyarakat yaitu pertama, Islamisasi Negara nasional untuk
kepentingan umat Islam dan kedua Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional. Yang dimaksud Islamisasi negara adalah upaya
merealisasikan ajaran dalam Negara. Negara Indonesia di upayakan berdasarkan
Islam. Pandangan ini muncul karena melihat kenyataan kuantitas umat Islam
memang menjadi umat terbanyak dan sudah sewajarnya bila hukum Islam dijadikan
sumber hukum Negara. Alasan logis karena yang akan merasakan adalah umat Islam.
Toh, dalam hukum Islam juga ada hukum-hukum yang mengatur umat non-Islam yang
disebut kaum zimmi. Keberadaan mereka tidak dikesampingkan begitu saja
bahkan ajaran Islam menyuruh umatnya melindungi nyawa dan harta benda mereka.
Kritik bermunculan ketika cara ini
akan ditempuh karena dinilai cara ini terlalu diskriminatif. Mereka mengatakan
kemerdekaan Indonesia tidaklah semata-mata diraih umat Islam. Serta semenjak
dahulu kepulauan nusantara tidak hanya dihuni oleh satu umat melainkan berbagai
jenis umat, kepercayaan. Jadi kalau ada hukum agama yang dijadikan hukum
konstitusional adalah mengingkari kenyataan bahwa negara ini memang plural.
Selain itu mereka mencurigai umat Islam sebagai umat yang hegemonik dan egois
kerena terlalu ambisius mempengaruhi kebijakan pemerintah. Lebih jauh lagi,
umat Islam akan dianggap ekstrim, karena menganggap atau merasa bahwa agamanya
yang paling benar.
Memang jalur struktural atau
Islamisasi Negara nasional sering kali mengalami benturan baik dengan penguasa
maupun dengan pihak umat agama lain. Pendekatan lain untuk mengartikulasikan
Islam adalah Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional, yang dimaksud dengan
pendekatan ini adalah penterjemahan politik Islam secara substansial, yakni
ajaran-ajaran Islam diterjemahkan dalam bahasa- bahasa ekonomi, kemanusiaan,
hak asasi manusia, pemberdayaan masyakat, dan lain-lain. Pendekatan ini
memandang perjuangan Islam tidaklah sempit, yaitu terbatas pada arena politik
dan parlemen, namun lebih luas dari itu, yaitu meliputi kebudayaan, pendidikan
dan lain-lain. Bagi mereka yang menggunakan pendekatan ini yang penting adalah
pesan-pesan pokok Islam dapat terwujud seperti semangat egalitarian, humanitas,
demokrasi, keadilan sosial, dan lain-lain serta tidak mengedepankan wacana
negara Islam.
Pendekatan model ini lebih disukai
oleh tokoh-tokoh Islam dan penguasa. Selain itu, pendekatan ini lebih
mengedepankan sikap saling mejaga keharmonisan antara umat beragama serta
menjaga hubungan Islam dan penguasa yang selama ini selalu terjadi konflik
diantara mereka. Pendekatan ini memang harus dipahami umat Islam sendiri bahwa
pendekatan ini lebih menguntungkan bagi keberlangsungan Negara dan agama.
Syarat ayang harus di miliki adalah bagimana memandang dan memperlakukan Islam
sendiri. Apakah Islam dipandang secara tekstual atau memahami hakikat mengapa Islam
itu diturunkan. Secara hakikat Islam turun sebagai rahmatan lil ‘alamin,
sebagai rahmat bagi alam. Tentu banyak jalan untuk membumikan pada tatanan
kehidupan masyarakat sehingga terwujud masyarakat madani. Semua ini asalah
tinggal umat Islam sendiri memandang Islam, sebatas kulit atau menyeluruh.
Sumber: