Selasa, 15 November 2011


HUBUNGAN NEGARA DENGAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh : Sarya/ PAI
Hubungan antara Islam dan politik selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan:
pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu kait-mengkait, yakni agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat berdasarkan Islam, di tempat dan waktu, telah sering terjadi dan mengalami pasang surut. Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coa dan belum ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di Indonesia.
Poin kedua dari alasan tersebut yang sering menimbulkan sikap arogan dari pemerintah. Sebetulnya sikap preventif terhadap usaha penerapan syariat sebagai landasan hukum tidak hanya pemerintah, melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah yang kami sebut hubungan agama dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita tidak setuju jika masalah agama di bawa ke wilayah Negara. Bagi mereka, agama adalah urusan pribadi antara dia dengan DIA. Atau mereka ingin menjaga hubungan suci dan sakral ini, tidak dicampuri urusan dana yang kotor. Apaka sikap mereka bisa digolongkan liberal? Jawabannya, bisa tetapi dengan catatan kita harus menilai “liberal” dari kacamata budaya bangsa Indonesia.
Menurut Masdar F. Mas’udi, hubungan agama dan Indonesia akan masih menjadi masalah. Menurutnya ada anggapan umum bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui (mengaburkan) batas-batas keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas seperti Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.
Pernyataan yang disampaikan beliau memang bukan tanpa alasan. Kalau kita menilik sejarah ke belakang baik pemimpin pasca proklamasi maupun orde baru, semua pemimpin bangsa ini tidak begitu kental keIslamannya. Sebagai paradigma politik memimpin bangsa ini justru lebih suka mengadopsi pemikiran (nilai-nilai) budaya.
Bahkan di era orde baru sikap preventif terhadap ormas atau organisasi agama begitu getol. Pemerintah berusaha mengkerdili umat Islam yang ingin memperjuangkan ajarannya lewat jalur sturktural. Sejumlah fakta menunjukkan hal tersebut, misalnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai resmi Islam selalu dibuat kerdil dengan berbagai cara, kegiatan-kegiatan semi kekerasan dibabat habis tanpa ampun, misalnya kasus Tanjung Priok, Lampung dan lain-lain. Semua hal itu dilakukan orde baru terhadap umat Islam karena orde baru sangat trauma dengan masa lalu di mana politik Islam sangat potensial untuk menggalang massa dan berbalik menyerang pemerintah sekaligus menjadi oposisi abadi kepada siapapun yang tengah berkuasa.
Setelah masa reformasi datang yang ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibe. Era reformasi disebut-sebut sebagai masa cerah bagi kehidupan bangsa Indonesia. Demokrasi, katanya, benar-benar tegak, keberadaaan pers, organisasi politik, ormas tidak lagi dibungkam dan dikerdilkan. Semua wahana ekspresi diberikan kebebasan sepenuhnya.
Melihat adanya peluang yang terbuka orma-ormas Islam menggunakan kesempatan yang baik untuk memperjuangkan syari’at Islam lewat jalur struktural yang selama orde baru terkekang. Usaha-usaha mereka bisa dilihat bagaimana banyaknya ormas-ormas Islam yang bermunculan seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin maupun parpol-parpol yang mengusung/ menggunakan simbol Islam. Selain perjuangan melalui ormas dan parpol, jalur lain yang ditempuh adalah melalui penerapan hukum-hukum Islam melalui celah-celah otonomi daerah.

Hubungan Islam dan Negara pada Era Reformasi
Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 menyebabkan perubahan drastic dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan drastis yang menonjol dibidang politik pasca orde baru antara lain: hilangnya kekuasaan represif dan bubarnya sistem bureaucratic polity pemerintah dipegang segelintir orang berubah menjadi pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat secara riil.
Perubahan birokrasi ternyata berdampak terhadap kebijakan-kebijakan terhadap semua aspek kehidupan bernegara termasuk kebijakan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Di saat orde baru berkuasa, kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat hanya sebatas retorika belaka. Bahkan pemerintah orde baru cenderung berperilaku sebagai rezim praetorian yang memiliki banyak kontrol yang mengawasi kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina Negara hingga persoalan personal semacam keluarga berencana.
Karena begitu ketatnya kontrol Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu” yang terbukti saat reformasi. kontrol tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi anak bangsa yang merasa terkekang sehingga pasca reformasi banyak bermunculan organisasi-organisasi massa (baik politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga press. Bahkan kata reformasi berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan individual maupun komunal.
Perubahan tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam untuk memperjuangkan ajaran agamanya agar setidaknya menjadi sumber hukum formal dalam kehidupan bernegara. Perjuangan ini lebih dikenal dengan perjuangan jalur strukturalis, yang mana di era orde baru pintu ini tertutup rapat dan pemerintah hanya membuka pintu kulturalis. Pernyataan selanjutnya adalah mengapa umat Islam begitu ambisius untuk memasukkan syariat ke dalam hukum Negara ini?
Dari sudut kuantitas, umat Islam merupakan mayoritas sehingga sudah sewajarnya jika pemerintah selalu memperhatikan kepentingan umat Islam dan mengakomodasikan sebanyak mungkin aspirasi Islam. Dengan kata lain, pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan programnya harus lebih memihak kepada Islam. Persoalan yang timbul adalah bagaimana dengan nasib umat minoritas? Keadaan mereka sebenarnya dalam posisi tidak aman. Mereka belum sepenuhnya percaya pada iktikad baik kelompok mayoritas yang berjanji akan melindungi eksistensi mereka.
Selain dilihat dari sudut kuantitas umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat Islam itu sendiri yakni Al-Quran dan As-Sunah. Agama Islam tidak pernah membedakan persoalan individu dengan persolan masyarakat, urusan dunia yang profan dan urusan akhirat yang trasendetal.
Dunia dan akhirat adalah dunia yang saling menjalin, seperti yang tersirat dalam ajaran Islam bahwa “dunia adalah ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang sebagai “ladang” sudah barang tentu keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola sesuai dengan tata krama-Nya. Agar kelak memberikan bekal yang baik di alam transenden. Kensekuensinya seluruh aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun individu harus “manut” dengan aturan tersebut. Dalam bermasyarakat atau berkelompok selalu memiliki tujuan-tujuan agama dan sekaligus mengabdi pada lestarinya nilai-nilai agama. Lebih jauh maka seluruh aktivitas muslim selalu diupayakan selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam, Al-Quran dan As-Sunah.
Semuanya itu perlu pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu diwujudkan dalam bentuk Negara, mengapa harus negara? Karena Negara mempunyai kekuasaan sekaligus wilayah yang membawahi rakyat. Dengan demikian harapan yang muncul adalah masyarakat bisa taat pada hukum Islam karena sudah ada institusi legal yang bisa menuntut sangsi bila hukum tersebut tidak dijalankan. Yang perlu digaris bawahi adalah bagi Islam tujuan bernegara adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama, keadilan sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam Negara adalah instrument bagi segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan social.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagimana mengartikulasikan wujud cita-cita tersebut di tengah pluralnya masyarakat? Untuk menjawab apalagi mengartikulasikan tidaklah mudah, banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Setidaknya ada dua kendala yang menjadi batu sandungan yakni kendala konsepsional dan kendala praktis. Kendala konsepsional adalah kendala bagaimana ajaran Islam yang normativ dapat dijabarkan menjadi separangkat aturan yang berfungsi untuk pelaksanaan di lapangan. Sedangkan kendala praktis yaitu kendala bagaimana implikasi praktis yang sangat mungkin timbul pada masyarakat yang plural.
Mohtar Mas’oed menuliskan bahwa setidaknya ada dua pendekatan sebagai upaya pengartikulasikan Islam dalam kehidupan masyarakat yaitu pertama, Islamisasi Negara nasional untuk kepentingan umat Islam dan kedua Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional. Yang dimaksud Islamisasi negara adalah upaya merealisasikan ajaran dalam Negara. Negara Indonesia di upayakan berdasarkan Islam. Pandangan ini muncul karena melihat kenyataan kuantitas umat Islam memang menjadi umat terbanyak dan sudah sewajarnya bila hukum Islam dijadikan sumber hukum Negara. Alasan logis karena yang akan merasakan adalah umat Islam. Toh, dalam hukum Islam juga ada hukum-hukum yang mengatur umat non-Islam yang disebut kaum zimmi. Keberadaan mereka tidak dikesampingkan begitu saja bahkan ajaran Islam menyuruh umatnya melindungi nyawa dan harta benda mereka.
Kritik bermunculan ketika cara ini akan ditempuh karena dinilai cara ini terlalu diskriminatif. Mereka mengatakan kemerdekaan Indonesia tidaklah semata-mata diraih umat Islam. Serta semenjak dahulu kepulauan nusantara tidak hanya dihuni oleh satu umat melainkan berbagai jenis umat, kepercayaan. Jadi kalau ada hukum agama yang dijadikan hukum konstitusional adalah mengingkari kenyataan bahwa negara ini memang plural. Selain itu mereka mencurigai umat Islam sebagai umat yang hegemonik dan egois kerena terlalu ambisius mempengaruhi kebijakan pemerintah. Lebih jauh lagi, umat Islam akan dianggap ekstrim, karena menganggap atau merasa bahwa agamanya yang paling benar.
Memang jalur struktural atau Islamisasi Negara nasional sering kali mengalami benturan baik dengan penguasa maupun dengan pihak umat agama lain. Pendekatan lain untuk mengartikulasikan Islam adalah Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional, yang dimaksud dengan pendekatan ini adalah penterjemahan politik Islam secara substansial, yakni ajaran-ajaran Islam diterjemahkan dalam bahasa- bahasa ekonomi, kemanusiaan, hak asasi manusia, pemberdayaan masyakat, dan lain-lain. Pendekatan ini memandang perjuangan Islam tidaklah sempit, yaitu terbatas pada arena politik dan parlemen, namun lebih luas dari itu, yaitu meliputi kebudayaan, pendidikan dan lain-lain. Bagi mereka yang menggunakan pendekatan ini yang penting adalah pesan-pesan pokok Islam dapat terwujud seperti semangat egalitarian, humanitas, demokrasi, keadilan sosial, dan lain-lain serta tidak mengedepankan wacana negara Islam.
Pendekatan model ini lebih disukai oleh tokoh-tokoh Islam dan penguasa. Selain itu, pendekatan ini lebih mengedepankan sikap saling mejaga keharmonisan antara umat beragama serta menjaga hubungan Islam dan penguasa yang selama ini selalu terjadi konflik diantara mereka. Pendekatan ini memang harus dipahami umat Islam sendiri bahwa pendekatan ini lebih menguntungkan bagi keberlangsungan Negara dan agama. Syarat ayang harus di miliki adalah bagimana memandang dan memperlakukan Islam sendiri. Apakah Islam dipandang secara tekstual atau memahami hakikat mengapa Islam itu diturunkan. Secara hakikat Islam turun sebagai rahmatan lil ‘alamin, sebagai rahmat bagi alam. Tentu banyak jalan untuk membumikan pada tatanan kehidupan masyarakat sehingga terwujud masyarakat madani. Semua ini asalah tinggal umat Islam sendiri memandang Islam, sebatas kulit atau menyeluruh. 

Sumber: